JAKARTA, Nepotiz – Kisah bermula dari Fakhri Dzulfiqar, seorang individu yang membuka tabir keterlibatan sejumlah pegawai di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang kini bertransformasi menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Ia menjadi semacam pionir, memungkinkan rekan-rekannya untuk turut serta dalam upaya “melindungi” puluhan ribu situs judi online (judol) dari ancaman pemblokiran.
Fakta ini terungkap gamblang dalam surat dakwaan yang menjerat Fakhri, bersama sejumlah nama lain yang juga merupakan pegawai Kementerian Kominfo. Mereka adalah Denden Imadudin Soleh, Riko Rasota Rahmada, Syamsul Arifin, Yudha Rahman Setiadi, Yoga Priyanka Sihombing, Reyga Radika, Muhammad Abindra Putra Tayip N, dan V Radyka Prima Wicaksana. Nama-nama ini, satu per satu, terseret dalam pusaran kasus yang melibatkan praktik haram ini.
Para pegawai ini dituduh bersekongkol, bahu-membahu melindungi ribuan situs judol bersama sejumlah pihak lain, seperti Muhrijan alias Agus, Adhi Kismanto, Alwin Jabarti Kiemas, Zulkarnaen Apriliantony, Muchlis Nasution, Ana, dan Budiman. Sebuah jaringan yang terstruktur rapi, dengan tujuan yang jelas: meraup keuntungan dari aktivitas ilegal ini.
Cerita bermula pada Januari 2023, ketika Alwin, yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Djelas Tandatangan Bersama, bertemu dengan seorang buronan bernama Jonathan (DPO). Dalam pertemuan itu, Jonathan meminta Alwin untuk mencarikan orang dalam di Kementerian Kominfo. Tujuannya sederhana: memastikan situs judi online miliknya aman dari blokir.
Kemudian, pada bulan Maret 2023, bertempat di sebuah rumah makan sederhana di kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Alwin bersama seorang pegawai Kementerian Kominfo bernama Emil, akhirnya bertemu dengan Fakhri.
“Dalam pertemuan krusial tersebut, terdakwa Fakhri Dzulfiqar menerima permintaan dari saksi Alwin Jabarti Kiemas untuk menjaga tiga situs website judi online milik Jonathan. Sebagai imbalan, Fakhri dijanjikan bayaran sebesar Rp 1 juta,” demikian bunyi dakwaan yang sempat saya, Nepotiz, baca melalui SIPP PN Jakarta Selatan pada hari Rabu, 21 Mei 2025.
Melihat keberhasilan Fakhri, pada bulan April 2023, Alwin kembali menghubunginya. Kali ini, Fakhri diminta untuk menjaga 21 situs judi online milik Jonathan, dengan imbalan yang sesuai: Rp 21 juta. Pada bulan Mei 2023, jumlah situs yang “dijaga” melonjak menjadi 60, dengan bayaran yang juga meningkat menjadi Rp 60 juta.
Pada bulan Juni 2023, Fakhri mengajak dua rekannya, Yudha dan Yoga, untuk ikut serta dalam aksi “menjaga” sekitar 100 situs judol. Bersamaan dengan itu, ia juga meminta kenaikan imbalan dari Alwin, menjadi Rp 2 juta per situs. Permintaan yang, entah mengapa, disetujui tanpa banyak perdebatan.
Tak lama kemudian, Fakhri, Yudha, dan Yoga bertemu dengan Alwin di sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan. Pertemuan yang penuh dengan aroma kesepakatan terlarang.
Dalam pertemuan tersebut, mereka menerima tiga unit iPhone 12, lengkap dengan nomor luar negeri. Perangkat ini, konon, digunakan untuk operasional “penjagaan” situs-situs judol, memastikan agar tidak terblokir oleh Kementerian Kominfo. Sebuah ironi yang pahit.
Untuk mempermudah koordinasi dan komunikasi, mereka membuat sebuah grup percakapan khusus di aplikasi Signal. Grup yang menjadi saksi bisu transaksi ilegal ini.
“Pada bulan Juli, Agustus, dan September, Fakhri, Yudha, dan Yoga, secara rutin menjaga website judi online agar tidak diblokir. Jumlahnya fantastis, sekitar 500 website judi online setiap bulannya,” ungkap jaksa dalam persidangan.
“Atas jasa tersebut, Fakhri, Yudha, dan Yoga menerima imbalan dari Alwin sekitar Rp 1 miliar setiap bulannya,” lanjutnya. Jumlah yang tentu saja sangat fantastis, dan membuat kepala saya, Nepotiz, berputar.
Pada bulan September 2023, Denden diangkat sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal. Sebuah posisi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas konten-konten terlarang di internet, termasuk pornografi, perjudian, dan pelanggaran hukum lainnya.
Proses penanganan dilakukan melalui serangkaian tahapan, mulai dari patroli siber, verifikasi konten, hingga pemblokiran yang dikoordinasikan melalui Kepala Verifikator.
Dalam perannya sebagai ketua tim, Denden membawahi beberapa anggota, termasuk Fakhri, Yudha, dan Yoga. Sebuah lingkaran yang semakin rumit dan membingungkan.
Namun, ironisnya, sebelum resmi menjabat sebagai Ketua Tim, Denden diketahui telah terlibat dalam praktik “penjagaan” situs judol. Ia bekerja sama dengan Muchlis untuk mengamankan situs-situs tertentu dari pemblokiran. Sebuah pengkhianatan terhadap amanah yang seharusnya ia emban.
Modusnya cukup sederhana. Denden menerima laporan patroli siber dari tim verifikator yang mencantumkan daftar situs perjudian yang akan diblokir.
Ia kemudian menghapus situs-situs tertentu yang telah dikoordinasikan sebelumnya agar tidak ikut diblokir, sebelum laporan tersebut diserahkan ke tim infrastruktur untuk eksekusi pemblokiran. Sebuah permainan kotor yang merugikan banyak pihak.
Jumlah situs judi online yang “dijaga” oleh Denden agar tidak diblokir oleh Kementerian Kominfo bervariasi setiap bulannya. Sebuah fluktuasi yang mencerminkan dinamika bisnis haram ini.
Pada bulan Januari 2023, Denden menerima Rp 50 juta dari Muchlis untuk menjaga enam situs judol, dengan tarif Rp 6 juta per situs. Sebuah harga yang cukup fantastis untuk sebuah “jasa” ilegal.
Februari, jumlah situs meningkat menjadi 25 dengan imbalan sekitar Rp 150 juta. Maret, Denden menjaga 34 situs dan menerima sekitar Rp 204 juta. April, 55 situs dengan imbalan sekitar Rp 330 juta. Mei, 92 situs dengan bayaran sekitar Rp 644 juta. Sebuah peningkatan yang signifikan, menunjukkan betapa menggiurkannya bisnis ini.
“Bulan Juni 2023 sampai dengan Agustus 2023 tidak dilakukan penjagaan website judi online karena terjadi pergantian Menteri Komunikasi dan Informatika,” ujar jaksa. Sebuah jeda singkat, sebelum akhirnya praktik haram ini kembali berlanjut.
Pada bulan September, Denden kembali menjaga 160 situs, namun 50 di antaranya tetap terblokir. Ia berhasil menjaga 110 situs dan menerima imbalan sekitar Rp 770 juta. Sebuah angka yang tetap saja sangat besar, meskipun tidak semua situs berhasil diselamatkan.
Pada akhir September 2023, Fakhri, yang lebih dulu tergabung dalam Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal sejak 2022, mengajak Denden untuk bertemu dengan Alwin di Jakarta Selatan. Pertemuan yang menjadi titik balik dalam keterlibatan Denden.
Dalam pertemuan itu, Alwin mengaku memiliki sejumlah situs judol yang selama ini dijaga agar tidak diblokir Kementerian Kominfo melalui koordinasi dengan Yudha, Fakhri, dan Yoga. Sebuah pengakuan yang blak-blakan.
Alwin kemudian menawarkan kerja sama kepada Denden sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten, dengan imbalan Rp 10 juta per situs per bulan. Tawaran yang sangat menggiurkan.
Jika Denden bersedia melindungi 100 situs, maka akan menerima Rp 400 juta per bulan, sementara masing-masing dari tiga terdakwa lainnya mendapat Rp 200 juta. Sebuah pembagian yang adil, setidaknya menurut mereka.
Denden menyetujui tawaran tersebut dan menerima uang awal sebesar Rp 100 juta sebagai komitmen koordinasi. Sebuah langkah awal menuju jurang yang lebih dalam.
Sebagai tindak lanjut, Alwin mengundang Denden ke grup WhatsApp bernama “KORDINASI” yang beranggotakan Yudha, Fakhri, Yoga, dan Alwin sebagai admin. Sebuah grup yang menjadi pusat komando dalam operasi ilegal ini.
Sejak bergabung, Denden mulai rutin menerima uang koordinasi sebesar Rp 400 juta secara tunai setiap tanggal 25–27. Sebuah rutinitas yang kelam.
Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebuah ancaman hukuman yang serius, atas perbuatan yang telah mereka lakukan.