JAKARTA, Nepotiz – Pada 8 Januari 2020, tim penyelidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melancarkan operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan kasus suap dalam pergantian antar waktu (PAW) DPR RI periode 2019-2024. Salah satu target utama dalam operasi tersebut adalah Harun Masiku.
Akan tetapi, upaya penangkapan Harun Masiku saat itu tidak berhasil. Ironisnya, mantan calon legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tersebut masih berstatus buron hingga bulan Mei 2025.
Menurut laporan Liputanku pada tahun 2020, Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri, menyatakan bahwa tim penyidik sebenarnya sudah memantau pergerakan Harun Masiku selama operasi berlangsung.
Ali menambahkan, jejak terakhir Harun terdeteksi di sekitar kawasan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), yang terletak di Jakarta Selatan.
“Pada malam itu, yang bersangkutan diduga berada di wilayah Kebayoran Baru, di sekitar PTIK. Tim lidik pun segera bergerak menuju lokasi tersebut,” ungkap Ali kepada awak media pada tanggal 30 Januari 2020.
Yang menarik, dalam pemeriksaan saksi di sidang Hasto sebelumnya, penyidik KPK seperti Rossa Purbo Bekti hingga Arif Budi Raharjo mengungkapkan adanya dugaan bahwa Hasto dan Harun berusaha melarikan diri ke area PTIK untuk menghindari penangkapan dalam OTT tersebut.
Dugaan ini didasarkan pada data penyadapan telepon seluler yang diduga milik Hasto dan seorang petugas keamanan yang bepergian bersama Harun.
Data CDR
Dalam persidangan kasus perintangan penyidikan yang melibatkan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto, yang berlangsung pada Senin (26/5/2025), terungkap bahwa KPK memanfaatkan teknologi informasi berupa data Call Detail Record (CDR) untuk melacak keberadaan Harun Masiku saat terjadinya OTT.
CDR merupakan data yang merekam seluruh aktivitas panggilan telepon, baik melalui telepon seluler maupun telepon rumah. Informasi yang tercatat dalam CDR mencakup nomor telepon, pihak-pihak yang berkomunikasi, waktu terjadinya komunikasi, serta lokasi ponsel berdasarkan sinyal yang diterima oleh Base Transceiver Station (BTS).
Data ini menjadi alat yang sangat penting bagi para penyelidik KPK dalam mengurai kronologi pergerakan tersangka.
Jaksa dari KPK menghadirkan Bob Hardian Syahbuddin, seorang dosen dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI), sebagai ahli teknologi informasi.
Dalam persidangan yang diadakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Bob dimintai keterangannya untuk menjelaskan hasil analisis data CDR terkait pergerakan Harun Masiku pada hari terjadinya OTT.
“Sehubungan dengan keterangan saudara, apakah benar bahwa saudara menunjukkan adanya perjalanan nomor 081*** yang diduga milik Harun Masiku?” tanya jaksa, memastikan bahwa Bob telah menjelaskan data tersebut kepada penyidik berdasarkan kesesuaian antara kronologi pergerakan Harun Masiku dengan data CDR.
Bob mengakui bahwa dirinya hanya menganalisis data yang diberikan untuk periode waktu tertentu.
“Saya hanya melihat data di sekitar jam itu saja. Data CDR itu kan terus berlanjut dari waktu ke waktu. Waktu itu, saya hanya diberikan data CDR pada jam-jam tertentu,” jelas Bob.
Posisi Harun, Hasto, hingga Kusnadi
Berdasarkan data yang telah dianalisis, diketahui bahwa Harun Masiku berada di Batu Sari, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada pukul 16.12 WIB. Sayangnya, keberadaan Harun setelah waktu tersebut tidak dapat terdeteksi secara rinci dalam data yang diperoleh.
Selain untuk melacak Harun, data CDR juga dimanfaatkan untuk memantau pergerakan pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus ini, termasuk terdakwa Hasto Kristiyanto.
Berdasarkan hasil analisis CDR, ponsel dengan nomor yang diduga milik Hasto terdeteksi berada di beberapa lokasi, seperti Jalan Diponegoro, area parkir Jakarta Hall Convention Center, serta Jalan Nasional Gelora Tanah Abang.
“Apakah saudara mengecek kebenaran data CDR tersebut?” tanya jaksa.
“Benar,” jawab Bob.
Lebih lanjut, ponsel dengan nomor yang diduga milik staf Hasto, Kusnadi, juga terdeteksi berada di lokasi tertentu pada waktu yang bersamaan.
Bob mengonfirmasi bahwa pada pukul 16.32 WIB hingga 17.02 WIB, kedua perangkat tersebut berada di Menara Kompas. Kemudian, pada petang hari, perangkat-perangkat itu terdeteksi berada di wilayah Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
“Kemudian, pada pukul 18.29-19.32, posisinya berada di PTIK. Apakah ahli memang menyatakan hal tersebut?” tanya jaksa.
Nuhasan Menghubungi Harun Masiku
Data CDR lainnya menunjukkan aktivitas dari ponsel yang diduga dimiliki oleh Nurhasan, seorang petugas sekuriti di tempat Hasto terkadang berkantor.
Berdasarkan data tersebut, Nurhasan terlihat berada di lingkungan PTIK dan diketahui sempat menghubungi Harun Masiku sebelum mantan caleg itu menghilang.
Namun, hingga saat ini, keberadaan Harun Masiku masih menjadi sebuah misteri.
Lokasi Perangkat, Bukan Pemilik
Dalam kesaksiannya, Bob juga menjelaskan bahwa data CDR hanya dapat menunjukkan lokasi perangkat, bukan lokasi pemilik perangkat.
“Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, data yang ada di CDR itu adalah posisi perangkat, bukan posisi pemilik perangkat tersebut,” tegas Bob.
Ahli komputer tersebut juga mengakui bahwa keterangannya sebagai seorang ahli tidak dapat memperkuat sejumlah fakta terkait apa yang dilakukan oleh Hasto pada tanggal 8 Januari 2020, saat KPK melakukan OTT.
Menurut Bob, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kepada penyidik, dirinya telah menjelaskan bahwa CDR bukanlah bukti primer untuk menunjukkan posisi pemilik suatu perangkat.
Oleh karena itu, ia menekankan bahwa penyidik membutuhkan bukti lain yang dapat menunjukkan bahwa perangkat tersebut memang melekat pada pemiliknya.
Kubu Hasto Mempertanyakan Data CDR
Menanggapi hasil data CDR dan kesaksian dari Bob, kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, mempertanyakan profesionalisme KPK dalam menyusun dan menggunakan bukti.
“Tadi pagi, ahli itu memberikan keterangan terkait satu rekaman tentang keberadaan Harun Masiku yang pertama kali berada di Jakarta Barat, tepatnya di Kebon Jeruk. Kemudian, dalam waktu satu detik, ia kemudian berada di Tanah Abang,” ungkap Maqdir pada hari Senin.
Menurutnya, keterangan tersebut justru memperlihatkan ketidaklogisan data yang dijadikan sebagai bukti oleh KPK.
“Itu yang sejak awal saya tanyakan kepada ahli. Apakah masuk akal jika seseorang dapat berpindah sejauh lebih dari enam kilometer hanya dalam waktu satu detik?” tanyanya.
Maqdir menegaskan bahwa dari keterangan ahli yang disampaikan di persidangan, terlihat jelas bahwa alat bukti yang digunakan oleh KPK sangat lemah dan tidak disusun secara profesional.
Ia juga menyoroti bukti lain berupa rekaman pergerakan ponsel yang disebut milik satpam PDI-P, Nurhasan, yang dapat berpindah secepat kilat dari Mampang ke Gatot Subroto dalam waktu 30 menit di sore hari.
Menurut Maqdir, pola pergerakan yang tergambar dalam rekaman tersebut tidak masuk akal jika dibandingkan dengan kondisi normal di Jakarta. Oleh karena itu, ia menilai bahwa KPK tidak cermat dalam menyusun dakwaan terhadap kliennya.
Respons Hasto
Senada dengan Maqdir, Hasto juga mempersoalkan akurasi data CDR yang dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara suap dan perintangan penyidikan yang menjeratnya.
“Jika hanya berdasarkan data CDR, atau call detail record, tanpa didukung oleh data-data lain, hal itu tidak dapat menunjukkan suatu lokasi secara presisi dari alat tersebut,” kata Hasto pada hari Senin.
Hasto berpendapat bahwa data CDR perlu dilengkapi dengan fakta-fakta lain yang terkonfirmasi. Sebab, data tersebut hanya mendeteksi suatu perangkat melalui koordinat BTS, bukan posisi seseorang secara pasti.
“Bahkan, jika kita melewati Istana Negara sekalipun, ketika di situ ada BTS, maka kita dianggap berada di Istana Negara,” jelas Hasto.
Selain itu, Hasto juga mempertanyakan akurasi CDR tersebut. Sebab, data CDR yang mencatat pergeseran telepon dari BTS ke BTS lain dari waktu ke waktu terlihat janggal.
“Yang penting tadi, dalam 1 detik itu bisa lompat (pergeseran lokasi perangkat) sejauh 4 kilometer,” tandasnya.
KPK Akui Data CDR Tak Lalui Pemeriksaan Forensik
Dalam persidangan, juga didalami soal dakwaan yang menyebutkan adanya dugaan Hasto memerintahkan kepada Nurhasan dan Kusnadi untuk menenggelamkan ponselnya.
Menurut kesaksian Pemeriksa Forensik pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK, Hafni Ferdian, CDR dari ponsel yang diduga diperintahkan untuk ditenggelamkan itu tidak pernah melalui proses audit atau forensik di unitnya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Hafni saat menjawab pertanyaan dari kuasa hukum Hasto, Febri Diansyah.
“Ini penegasan terakhir, apakah bisa dikatakan bahwa data CDR itu tidak melalui digital forensik di unit yang saudara pimpin?” tanya Febri dalam persidangan pada hari Senin.
“Ya, saya tidak menerimanya,” jawab Hafni.
“Berarti dari 45 (data) yang saudara terima di tim saudara dan dilakukan digital forensik, tidak ada satu pun di antaranya yang berupa data CDR?” tanya Febri menegaskan.
“Tidak ada,” jawab Hafni.
Dalam persidangan, Hafni juga mendapat pertanyaan dari majelis hakim terkait alat bukti yang dapat mendukung dakwaan perintangan penyidikan terhadap Hasto. Utamanya, mengenai dugaan perintah untuk merusak alat komunikasi.
“Apakah ditemukan bukti-bukti yang mendukung dakwaan? Di mana pada tanggal 8 Januari 2020, pukul 18.19 WIB, terdakwa memberikan perintah melalui Harun Masiku melalui Nur Hasan untuk merendam genggamnya, dan pada tanggal 6 Juni 2024, terdakwa memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggamnya?” tanya hakim.
“Jadi, mohon dijelaskan secara spesifik, apakah ditemukan kerusakan fisik pada perangkat yang menunjukkan bahwa ponsel tersebut terendam air, dan dari pemeriksaan itu, kira-kira kesimpulan saudara seperti apa?” cecar hakim melanjutkan.
“Terkait dengan pernyataan Yang Mulia, untuk spesifik dakwaan tadi, sebenarnya di dalam pemeriksaan forensik itu tidak menemukan. Itu, kalau (perintah Hasto) menurut saya, itu bersumber dari data penyadapan,” jawab Hafni.
Dalam perkara ini, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan (obstruction of justice) dan suap agar Harun Masiku dapat menjadi anggota DPR RI Pergantian Antar Waktu (PAW) periode 2019-2024.
Pada dakwaan pertama, Hasto disebut melanggar Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Sementara itu, pada dakwaan kedua, Hasto didakwa melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.