“`html
JAKARTA, Nepotiz – Ronald Loblobly, Koordinator Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi, menjalani pemeriksaan oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung (Kejagung). Pemeriksaan ini terkait dengan aduan yang diajukannya terhadap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah beserta Jaksa Penuntut Umum (JPU) M Nurachman. Aduan tersebut menyoroti dugaan adanya pengaburan dalam proses penyidikan dan penuntutan kasus yang melibatkan eks Pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar.
“Pemeriksaan ini berkaitan dengan laporan yang kami sampaikan pada tanggal 28 April lalu. Aduan kami kepada Jamwas terkait dugaan pelanggaran Unconstitutional Conduct serta Obstruction of Justice yang diduga dilakukan oleh Jampidsus Febrie Adriansyah dan JPU M Nur Rahman terkait kasus Zarof Ricar,” ungkap Ronald kepada awak media di depan kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, pada Senin (26/5/2025).
Ronald menjelaskan bahwa kehadirannya hari ini adalah untuk dimintai keterangan sebagai saksi pelapor atas laporan yang diajukannya pada Senin, 28 April 2025.
Dalam keterangannya, Ronald menyebutkan bahwa ia menerima sekitar 13 pertanyaan dari petugas Jamwas.
Kepada pihak Jamwas, Ronald menyampaikan serangkaian kecurigaan dan dugaannya terkait tindakan yang dilakukan oleh Febrie dan timnya.
Poin pertama yang disoroti adalah terkait pasal yang dikenakan kepada Zarof, yaitu pasal gratifikasi, bukan suap.
Menurut pandangannya, penerapan pasal gratifikasi dinilai tidak tepat dan dicurigai memiliki tujuan untuk menyembunyikan sesuatu.
“Zarof Ricar, dalam hal ini, hanya berperan sebagai gatekeeper. Oleh karena itu, tidak mungkin uang sebesar Rp 915 miliar tersebut hanya merupakan gratifikasi semata. Pertanyaannya adalah, mengapa pasal gratifikasi yang dikenakan, padahal Zarof Ricar bukanlah majelis hakim yang memiliki wewenang untuk memutuskan perkara?” jelas Ronald lebih lanjut.
Ia berpendapat bahwa posisi Zarof sebagai Badan Penilitan dan Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung tidak memiliki kewenangan untuk memutus perkara.
“Jadi, tidaklah tepat jika kemudian hal tersebut dinyatakan sebagai gratifikasi. Karena, jika itu gratifikasi, maka dia haruslah pejabat berwenang yang menerima manfaat,” imbuh Ronald.
Lebih lanjut, Ronald juga menyoroti fakta yang terungkap selama persidangan, yaitu adanya sejumlah aliran dana yang diterima oleh Zarof dari berbagai pihak.
Salah satu contohnya adalah aliran dana dari Sugar Group sebesar Rp 50 miliar.
Ronald menilai bahwa hingga saat ini, penyidik belum melakukan pendalaman secara tegas terhadap pihak-pihak yang disebutkan dalam persidangan.
Padahal, telah ada pengakuan mengenai aliran dana kepada Zarof.
“Dan hingga saat ini, sepengetahuan kami, Sugar Group belum dilakukan penggeledahan. Baru kemarin, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI, disampaikan bahwa mereka sudah dipanggil sebanyak dua kali,” tambahnya.
Kurangnya informasi dan pemanggilan ini dianggap sebagai upaya pengaburan fakta oleh Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi.
“`