Kejaksaan Agung (Kejagung) bertindak tegas! Sebuah rest area yang berlokasi strategis di ruas Tol Jagorawi Km 21B, tepatnya di Gunungputri, Bogor, Jawa Barat, telah resmi disita. Bayangkan, rest area yang seharusnya menjadi tempat beristirahat para pelancong, kini justru terjerat dalam pusaran kasus korupsi tata kelola timah yang menggemparkan.
Rest area ini, ternyata, disita dari sebuah korporasi yang menjadi tersangka, CV Venus Inti Perkasa (VIP). Penyitaan ini bukanlah tanpa dasar, melainkan berdasarkan Surat Perintah (SP) penyitaan yang dikeluarkan oleh Dirdik Jampidsus Kejagung dengan Nomor PRIN-31/F.2/Fe.2/01/2025 tertanggal 21 Januari 2025.
Saya, secara pribadi, menyaksikan langsung proses penyitaan yang berlangsung pada hari Rabu, 21 Mei 2025. Pemandangan yang cukup mencolok adalah terpasangnya dua plang penyitaan di area rest area tersebut, seolah memberikan penegasan bahwa tempat ini kini berada di bawah pengawasan hukum.
"SP penyitaan ini terkait erat dengan penyidikan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, yang berawal dari tindak pidana korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk, dari tahun 2018 hingga 2020," demikian bunyi tulisan yang tertera pada plang penyitaan tersebut. Kata-kata itu seperti cambuk yang mengingatkan kita akan dampak buruk korupsi.
Lebih lanjut, sertifikat hak guna bangunan (SHGB) kawasan rest area ini mencakup dua perusahaan, yaitu PT Karya Surya Ide Gemilang dan PT Graha Tunas Selaras. Kompleksitas kepemilikan yang semakin memperumit kasus ini.
Para Pesakitan dalam Korupsi Timah
Salah satu nama yang mencuat dalam kasus ini adalah Tamron alias Aon, yang tak lain adalah beneficial owner dari CV Venus Inti Perkasa dan PT Menara Cipta Mulia. Ironisnya, Tamron harus menerima ganjaran hukuman 18 tahun penjara atas perbuatannya.
"Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 77/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst tanggal 27 Desember 2024 yang dimintakan banding tersebut, telah diubah," demikian pernyataan hakim dalam salinan putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, seperti yang saya lihat pada Senin, 17 Maret. Sebuah perubahan yang menunjukkan bahwa keadilan, meskipun lambat, tetaplah ditegakkan.
Selain hukuman penjara, Tamron juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Lebih dari itu, hakim menghukum Tamron untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 3.538.932.640.663,67 (Rp 3,5 triliun). Jumlah yang fantastis, yang mencerminkan kerugian besar yang ditimbulkan akibat korupsi ini.
Hingga saat ini, total ada 22 orang yang telah ditetapkan oleh Kejagung sebagai tersangka. Tak berhenti di situ, Kejagung juga menetapkan lima tersangka korporasi yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait kasus korupsi di PT Timah. Jaringan kejahatan yang begitu luas dan terorganisir.
Para tersangka ini diduga kuat saling bekerjasama dalam menjalankan bisnis timah ilegal, yang mengakibatkan kerugian negara mencapai angka yang mencengangkan, yaitu Rp 300 triliun. Sebuah angka yang membuat kita bertanya-tanya, kemana larinya uang sebanyak itu?
Kerjasama yang terjalin, konon, dilakukan dengan menetapkan harga yang lebih tinggi tanpa adanya kajian yang memadai. Kerugian juga dihitung dari kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan ilegal di kawasan Bangka Belitung. Sebuah ironi, di mana kekayaan alam justru menjadi sumber petaka.