JAKARTA, Nepotiz – Seperti yang saya dengar langsung dari ruang sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membongkar sebuah taktik yang cukup mencengangkan. Ternyata, ada oknum pegawai di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), yang kini kita kenal sebagai Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), yang diduga kuat melindungi situs-situs judi online (judol) agar tidak sampai diblokir. Bayangkan, tugasnya memberantas, malah melindungi!
Keterangan ini muncul dalam surat dakwaan yang ditujukan kepada Fakhri Dzulfiqar, Denden Imadudin Soleh, Riko Rasota Rahmada, Syamsul Arifin, Yudha Rahman Setiadi, Yoga Priyanka Sihombing, Reyga Radika, Muhammad Abindra Putra Tayip N, dan V Radyka Prima Wicaksana. Nama-nama ini, menurut surat dakwaan, adalah para terdakwa dalam kasus yang cukup menghebohkan ini.
Untuk yang penasaran, surat dakwaan ini bisa diakses oleh publik melalui Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Jadi, semuanya transparan dan bisa dicek langsung.
Dalam dakwaan tersebut, para terdakwa ini disebutkan sebagai pegawai Kementerian Kominfo. Sebuah institusi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas aktivitas ilegal di dunia maya.
Menurut isi dakwaan, ada sebuah grup bernama “Koordinasi”. Di dalamnya ada Denden yang menjabat sebagai Ketua Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal Kementerian Kominfo, beserta tiga anak buahnya: Yudha, Fakhri, dan Yoga. Grup WhatsApp ini kabarnya dibentuk oleh Alwin Jabarti Kiemas.
Sosok Alwin ini, yang merupakan Direktur Utama PT Djelas Tandatangan Bersama, disebut-sebut sebagai penghubung antara para bandar judol dengan oknum pegawai di Kementerian Kominfo. Seperti perantara yang menjembatani kepentingan ilegal, sungguh ironis!
Dakwaan itu juga menjelaskan bahwa Denden punya peran menerima rekapan pengajuan pemblokiran situs judol dari tim verifikator, lalu tugasnya adalah menyortirnya. Sebuah proses yang seharusnya bertujuan untuk memberantas, malah menjadi celah untuk melindungi.
“Setelah itu, terdakwa Denden Imadudin Soleh meneruskan kepada terdakwa Fakhri Dzulfiqar, terdakwa Yudha Rahman Setiadi, dan terdakwa Yoga Priyanka Sihombing untuk menyortir dan menghapus website perjudian yang telah dikoordinasikan sebelumnya dari rekapan pengajuan pemblokiran,” begitu bunyi ungkapan jaksa dalam dakwaan. Sungguh sistem yang rapi, namun sayangnya digunakan untuk tujuan yang salah.
Selanjutnya, rekapan pengajuan pemblokiran itu diserahkan kepada Tim Tata Kelola Pengendalian Penyelenggara Sistem Elektronik (TKPPSE). Prosedur yang tampak normal, namun menyimpan intrik di dalamnya.
Riko Rasota Rahmada, yang menjabat sebagai Ketua Tim TKPPSE, tetap memblokir situs judi tanpa koordinasi. Padahal, ia tahu bahwa data tersebut sudah disortir oleh Tim Pengendalian Konten Internet Ilegal dari situs bermuatan judi yang telah “diamankan.” Sebuah tindakan yang mungkin bisa dianggap sebagai upaya penyelamatan, atau justru bagian dari permainan yang lebih besar?
Pada Oktober 2023, Denden bahkan menyampaikan kepada saksi Muchlis Nasution bahwa penjagaan situs perjudian belum bisa dilakukan. Sebuah pengakuan yang cukup mengejutkan.
Ia kemudian menawarkan opsi lain yang tak kalah mencengangkan: memberikan informasi terlebih dahulu mengenai situs yang akan diblokir oleh Kementerian Kominfo, dengan “biaya” sebesar Rp 1 juta per situs. Muchlis Nasution kemudian menyerahkan daftar 500 situs judol kepada Denden. Praktik yang sangat memprihatinkan!
Namun, dari daftar tersebut, terdapat 150 situs yang tidak diinformasikan oleh Denden dan tetap terblokir. Entah apa yang melatarbelakangi hal ini.
Dengan demikian, jumlah situs yang “berhasil diamankan” mencapai 350 situs. Atas aksinya itu, Denden diduga menerima imbalan sekitar Rp 350 juta. Sebuah angka yang fantastis, hasil dari pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan.
Para terdakwa didakwa melanggar Pasal 27 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.