Yorrys Raweyai, Wakil Ketua DPD yang juga menjabat sebagai Ketua For Papua MPR RI, menyatakan bahwa pihaknya masih menunggu arahan dari pemerintah terkait upaya bersama mencari solusi untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua. Menurut Yorrys, konflik di Papua telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa menunjukkan tanda-tanda penyelesaian yang signifikan.
“Saat ini, kita menunggu arahan dari pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Bapak Presiden Prabowo, mengenai langkah-langkah yang dapat kita gunakan sebagai pedoman untuk menyelesaikan masalah Papua,” ujar Yorrys di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Selasa (27/5/2025).
“Karena dalam satu atau dua minggu terakhir, eskalasi konflik cukup meningkat, dengan jumlah korban yang cukup banyak, terutama pengungsi yang menjadi persoalan penting saat ini,” lanjutnya.
Yorrys menyoroti banyaknya pengungsi yang meninggalkan daerah asal mereka. Ia juga meminta pemerintah untuk memberikan kejelasan terkait penyelesaian konflik di Papua.
“Para pengungsi ini berasal dari berbagai daerah, keluar dari kabupaten masing-masing, dan banyak yang hidup di hutan atau ditampung oleh keluarga, tanpa adanya kepastian mengenai arah dan tujuan yang sebenarnya,” ungkapnya.
Yorrys menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap pendekatan keamanan yang diterapkan di Papua. Ia berpendapat bahwa kebijakan pengerahan aparat non-organik justru memperburuk trauma dan memperkuat stigma negatif bahwa masyarakat Papua hanya dijadikan objek pengamanan, bukan sebagai subjek kemanusiaan.
“Tentu saja, kami berharap bahwa melalui komunikasi yang intensif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan kami dari MPR for Papua, kita dapat duduk bersama mencari solusi komprehensif untuk menyelesaikan masalah Papua di masa depan,” tuturnya.
Yorrys juga menyatakan bahwa pendekatan keamanan yang selama ini diterapkan belum berhasil meredakan situasi konflik. Bahkan, menurutnya, konflik justru mengalami peningkatan setelah pemekaran daerah otonom baru (DOB) di Papua.
“Eskalasi konflik tidak semakin menurun, tetapi justru meningkat seiring dengan pemekaran wilayah, dan kemudian mengkristal,” jelas Yorrys.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris MPR for Papua, Filep Wamafma, membacakan pernyataan sikap terkait konflik bersenjata di wilayah pegunungan seperti Kabupaten Puncak, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Nduga, dan beberapa wilayah lainnya dalam beberapa waktu terakhir.
Berikut adalah isi pernyataan MPR for Papua:
1. Konflik bersenjata yang telah lama berlangsung di Tanah Papua dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan intensitas, bahkan semakin meningkat, memerlukan respons yang terukur, terencana, dan komprehensif dari seluruh pihak. Tidak hanya pemerintah daerah, tetapi juga pemerintah pusat yang membawahi aparat keamanan (TNI-POLRI) serta Kementerian dan Lembaga yang terkait langsung dengan penanganan konflik dari hulu hingga hilir.
2. Peningkatan jumlah korban dari berbagai pihak, baik aparat keamanan maupun masyarakat sipil, harus dipandang sebagai dampak dari persoalan konflik yang berlangsung sejak lama. Oleh karena itu, penanganan atas situasi tersebut tidak boleh bersifat parsial, pragmatis, dan jangka pendek, apalagi hanya mengandalkan penyelesaian dari perspektif keamanan semata.
3. Ribuan korban yang mengungsi akibat konflik bersenjata dalam beberapa bulan terakhir, harus membuka mata, pikiran, dan hati Pemerintah Pusat untuk mengevaluasi kebijakan penanganan konflik di Tanah Papua. Pendekatan keamanan dengan pengerahan aparat TNI-POLRI di Tanah Papua harus dihentikan. Kebijakan tersebut hanya akan terus menciptakan trauma berkepanjangan dan semakin memperkuat kesan bahwa masyarakat Papua adalah objek pengamanan, bukan subjek kemanusiaan.
4. Konflik yang terus berulang di Tanah Papua tidak bisa lagi direspons secara retoris oleh Pemerintah Pusat. Janji Pemerintah Pusat untuk menangani persoalan Papua dengan pendekatan humanis, rekonsiliatif, dan jalan damai dengan mengedepankan Hukum dan HAM, harus diimplementasikan secara nyata disertai dengan kebijakan yang sejalan dengan janji tersebut.
5. Pemerintah Pusat harus melibatkan lembaga-lembaga formal dan konstitusional dalam menangani persoalan di Tanah Papua. Hal itu terutama dilakukan dengan mengedepankan komunikasi intensif antara pemerintah pusat, daerah, dan elemen kemasyarakatan di Tanah Papua dengan Lembaga Perwakilan Rakyat yang merepresentasikan masyarakat Papua di bawah koordinasi FOR PAPUA MPR RI.
6. Komunikasi antarkelembagaan yang merepresentasikan masyarakat Papua di tingkat daerah dan di tingkat pusat, harus terjalin dengan maksimal. Tidak boleh ada kebijakan yang bersifat sektoral, mengingat konteks persoalan Tanah Papua memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.
7. Kementerian Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Kementerian Hukum, Kementerian Hak Asasi Manusia, TNI dan POLRI, serta seluruh lembaga pemerintah pusat harus memiliki visi yang sama serta kebijakan yang beriringan. For Papua MPR RI akan senantiasa menyediakan waktu dan kesempatan untuk memfasilitasi langkah-langkah bersama dan komprehensif bagi penanganan masalah di Tanah Papua.
8. Penanganan persoalan di Tanah Papua tidak bisa diselesaikan secara sepihak, melainkan membutuhkan kerja sama seluruh pihak yang berkepentingan dan berwenang di dalamnya. Konflik bersenjata dan ribuan pengungsi yang sedang mempertaruhkan nasib dan masa depan mereka, adalah dampak dari kebijakan masa lalu yang keliru. Tanpa komunikasi yang lebih baik, situasi tersebut akan terus berulang dan melahirkan korban-korban yang tidak berkesudahan.