Nepotiz, Jakarta – H. Andi Muawiyah Ramly, seorang anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), menyampaikan kritiknya terhadap proses penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang digarap oleh Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).
Dalam rapat kerja yang berlangsung dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Andi menekankan pentingnya kehati-hatian dan sosialisasi yang memadai dalam penyusunan sejarah bangsa.
“Jangan sampai proses penulisan sejarah ini terburu-buru, hanya dilakukan dalam waktu enam bulan lalu diluncurkan pada bulan Agustus. Ini adalah sejarah bangsa, bukan proyek instan. Seharusnya ada uji publik, seminar, serta sosialisasi yang luas,” tegas Andi dalam rapat yang diadakan di Ruang Rapat Komisi X DPR, Senayan, Senin (26/5/25).
Beliau mengungkapkan kekhawatiran bahwa tanpa adanya proses yang inklusif dan berbasis ilmiah, penulisan sejarah berpotensi menjadi bias dan tidak mencerminkan beragam perspektif. Salah satu contoh yang menjadi perhatian adalah kurangnya pengakuan terhadap tokoh penting seperti Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
“Ketika menulis tentang Gus Dur, jangan hanya mengulasnya dalam setengah halaman saja. Perlu juga disebutkan bagaimana beliau mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua. Beliau diakui sebagai bapak bangsa oleh masyarakat Papua, mengakui agama Konghucu, dan memperjuangkan hak-hak etnis Tionghoa,” paparnya.
Andi juga menyinggung perihal ketidakhadiran tokoh besar NU, KH. Hasyim Asy’ari, dalam buku sejarah yang sebelumnya sempat beredar. Menurutnya, penghilangan tokoh sentral seperti itu dapat memicu kemarahan publik serta menghilangkan kontribusi penting dalam perjalanan bangsa.
Beliau menambahkan bahwa sejarah tidak boleh disusun hanya berdasarkan narasi tunggal, terlebih jika penyusunannya tidak melibatkan akademisi, sejarawan, dan partisipasi publik secara luas. Ia juga mengingatkan agar Komisi X tidak dijadikan semacam “hakim” dalam menentukan satu versi tunggal sejarah nasional.
“Saya mengharapkan penulisan sejarah dilakukan dengan seksama, melibatkan seminar-seminar ilmiah, dan disepakati bersama sebagai referensi nasional yang diajarkan di sekolah,” pungkasnya.
Rapat tersebut merupakan bagian dari fungsi pengawasan Komisi X terhadap kebijakan strategis di bidang kebudayaan, khususnya terkait penyusunan buku sejarah nasional yang direncanakan sebagai materi ajar resmi di berbagai jenjang pendidikan.
Sebelumnya, pada tanggal 19 Mei, sekelompok masyarakat yang menamakan diri Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menyatakan penolakan terhadap rencana penulisan sejarah resmi oleh pemerintah. Mereka berpendapat bahwa terdapat potensi untuk menutupi kesalahan masa lalu dan terkesan tergesa-gesa jika tenggat waktunya sebelum tanggal 17 Agustus 2025.