Minggu pagi yang tenang di Stasiun Tangerang, sekitar pukul 08.00 WIB pada tanggal 25 Mei, terasa begitu damai. Meskipun sedikit mendung, pancaran sinar matahari tetap terasa menghangatkan.
Suasana cukup ramai, namun sebagian besar adalah mereka yang hendak berolahraga atau – tampaknya – menghadiri acara pernikahan.
Namun, di dekat pintu keluar, sudah tampak 30 Kompasianer berkumpul, siap mengikuti *Walking Tour* mengelilingi Pasar Lama, Kota Tangerang.
Kegiatan ini dipandu oleh Elsa Novia Sena dan Ronaldi dari Benteng Walking Tour. Guna memudahkan mobilitas selama tur, para Kompasianer dibagi menjadi 2 tim.
Perjalanan pun dimulai, dengan Benteng Walking Tour menjelaskan sejarah serta asal-usul berdirinya Stasiun Tangerang.
Ada fakta menarik mengenai Stasiun Tangerang ini, sebab stasiun yang kini terlihat sederhana, ternyata dahulu merupakan urat nadi penggerak ekonomi Tangerang.
Stasiun Tangerang didirikan pada masa kolonial, karena dulunya menjadi jalur distribusi penting hasil perkebunan dari wilayah sekitarnya.
Melanjutkan perjalanan dari Stasiun Tangerang menuju Pasar Lama, Tangerang, arus lalu lintas tampak cukup padat. Tidak terlalu jauh, para Kompasianer berjalan beriringan menyusuri deretan toko.
Destinasi pertama yang dikunjungi adalah Pabrik Kecap SH. Pabrik ini menjadi legenda tersendiri bagi warga Tangerang. Telah beroperasi sejak tahun 1920, kini pabrik tersebut dikelola oleh generasi ketiga dari keluarga pendirinya.
Rasa gurih dan manis kecapnya telah diwariskan secara turun-temurun dan digunakan oleh masyarakat Tangerang. Hampir semua pedagang makanan menggunakan Kecap SH.
Namun, yang menarik dari penjelasan Ronaldi adalah bahwa kecap Bango pun dulunya diproduksi di pabrik yang sama dengan Pabrik Kecap SH.
"Sebelum menjadi kecap Bango yang kita kenal sekarang, pada tahun 1928, kecap tersebut dibuat di sini," ujarnya.
Selepas dari blok jalan Pabrik Kecap SH, perjalanan dilanjutkan menuju Klenteng Boen Tek Bio. Bagian ini cukup seru, karena untuk mencapai lokasi, kami harus melewati jalan di dalam pasar yang hanya cukup untuk satu sepeda motor.
Di kiri-kanan jalan pasar, beraneka ragam jajanan dan oleh-oleh khas Tangerang dijajakan.
Klenteng Boen Tek Bio kini telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Tangerang pada tahun 2018. Pasalnya, klenteng ini merupakan yang tertua, berdiri sejak abad ke-17, tepatnya pada tahun 1684.
Lilin merah menyala dengan tenang di sudut altar, sementara para pengunjung datang silih berganti untuk berdoa.
Klenteng ini, menurut Ronaldi, menjadi saksi bisu akulturasi budaya dan wujud toleransi yang telah berlangsung ratusan tahun di kota ini.
Tidak jauh dari Klenteng Boen Tek Bio, terdapat Masjid Jami Kalipasir. Setiap kali ada kegiatan sosial, baik dari masyarakat Tionghoa maupun umat Muslim, semua berjalan beriringan.
Masjid Jami Kalipasir yang terletak di tepi Sungai Cisadane memiliki arsitektur menara yang menyerupai pagoda. Tepat di sebelahnya, terdapat pemakaman, yang salah satunya adalah makam Nyi Raden Uria Negara, istri dari Sultan Agung Tirtayasa.
Di antara Klenteng Boen Tek Bio dan Masjid Jami Kalipasir, sebetulnya ada sebuah pabrik kecap lain yang tak kalah legendaris: Kecap Istana.
Perbedaan antara kedua kecap lokal ini adalah Kecap Istana memiliki cita rasa yang lebih asin dibandingkan Kecap SH.
Setelah beristirahat sejenak di tepi Sungai Cisadane, perjalanan dilanjutkan ke Roemboer Tangga Ronggeng. Roemboer sendiri merupakan akronim dari Roemah Boeroeng.
Rumah tersebut, kata Ronaldi, merupakan tempat burung-burung walet membuat sarangnya. Sementara itu, "Tangga Ronggeng" merujuk pada tangga di Sungai Cisadane, tempat para penari Ronggeng tampil.
Sayangnya, tangga yang dimaksud tadi kini sudah tidak ada. Jadi, kita tidak bisa lagi melihat bagaimana para penari Ronggeng zaman dulu.
Akhir dari *Walking Tour* ditutup dengan mengunjungi Museum Benteng Heritage. Museum ini didedikasikan untuk sejarah Tionghoa Benteng di Indonesia.
Para Kompasianer berfoto bersama di Museum Benteng Heritage dalam acara *Walking Tour*, Kompasiana.
Terletak di jantung Pasar Lama, museum ini menyimpan koleksi artefak, foto, dan kisah-kisah diaspora Tionghoa yang membentuk identitas Tangerang.
Ada hal unik dan menarik dari Museum Benteng Heritage, tepatnya di lantai 2, yaitu sebuah pintu asli yang masih bertahan dari abad ke-17.
Pintu tersebut tampak biasa saja, namun ketika dikunci dari dalam terasa mudah, tetapi ketika dicoba dibuka dari luar justru sulit. Tidak ada satupun Kompasianer yang bisa membukanya.
Ternyata, ada "tombol rahasia" yang tersembunyi di gagang pintu tersebut. Tombol tersebut perlu ditekan terlebih dahulu, barulah pintu dapat dibuka dengan mudah.
Karena sistem pintu seperti itu, maka menjadi suatu keharusan bagi penghuni rumah untuk tetap berada di dalam rumah untuk membuka dan menutup pintu.
Dahulu, setiap pintu memiliki "tombol rahasia" yang berbeda-beda. Dapat dibayangkan betapa hebatnya pintu tersebut dibuat, bukan?