Nepotiz, Jakarta – Ibadah haji, dan juga umrah, ternyata memiliki nilai yang setara dengan jihad bagi kaum perempuan, menurut ajaran Nabi Muhammad SAW. Hal ini disebabkan karena perempuan harus rela berpisah dari keluarga serta meninggalkan segala aktivitas rutin dalam jangka waktu yang tidak singkat, terutama jika dibandingkan dengan kondisi sebelum era modern seperti sekarang.
“Jika sekarang pelaksanaan haji dan umrah terbilang singkat, berbeda dengan zaman dahulu yang bisa memakan waktu hingga satu tahun, bahkan lebih. Pengorbanan yang diberikan sungguh luar biasa,” ungkap musytasyar dini (pembimbing ibadah) dari Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), Nyai Badriyah Fayumi, dalam sebuah tayangan daring di YouTube, Sabtu, 24 Mei 2025.
“Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kesempatan berjihad yang dimiliki oleh perempuan tidak dimanfaatkan sebaik mungkin oleh para perempuan itu sendiri,” lanjutnya.
Pada tahun ini, jumlah jemaah haji perempuan tercatat lebih banyak dibandingkan jemaah laki-laki, yakni mencapai 55,57 persen atau sebanyak 118.833 orang dari total 213.860 jemaah haji reguler. Tantangan yang dihadapi oleh jemaah haji perempuan pun berbeda dengan tantangan yang dihadapi kaum laki-laki, mengingat perbedaan fisik yang telah diciptakan. Dengan demikian, hukum fikih yang berlaku juga memiliki perbedaan, termasuk dalam hal ihram dan tawaf.
Menurut Badriyah, pertanyaan mengenai hukum tawaf dan ihram bagi jemaah haji perempuan yang sedang mengalami haid seringkali muncul. Terkait dengan ihram, beliau menegaskan bahwa perempuan tetap wajib mematuhi segala larangan dan kewajiban ihram, meskipun sedang dalam kondisi menstruasi atau belum suci.
“Akan tetapi, jangan melakukan tawaf terlebih dahulu. Sebaiknya, tunggu di hotel masing-masing hingga benar-benar suci,” jelasnya. “Namun, apabila waktu yang tersedia sangat terbatas dan haid masih berlangsung, meskipun hanya sedikit mengeluarkan darah, maka ubahlah niat haji kita dari tamattu menjadi qiran,” sambungnya.
Dengan berniat haji qiran, jemaah haji perempuan melaksanakan ibadah haji dan umrah secara bersamaan. Dalam praktiknya, jemaah akan melaksanakan amaliyah haji terlebih dahulu, mulai dari wukuf hingga melempar jumrah aqabah. Selanjutnya, jemaah perempuan diminta untuk bersabar menunggu hingga benar-benar suci sebelum melaksanakan rangkaian ibadah umrah, seperti tawaf dan sa’i.
“Niatnya adalah ihram umrah dan haji sekaligus, sebagaimana kita berniat haji qiran,” tuturnya.
Lantas, bagaimana hukumnya jika seorang perempuan masih mengalami menstruasi saat akan melaksanakan tawaf ifadah? Menurut Badriyah, tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk melaksanakan tawaf yang merupakan salah satu rukun haji tersebut.
“Jangan bersedih, haid ini datangnya dari Allah SWT, dan kewajiban haji juga berasal dari Allah SWT. Allah tidak akan memberatkan hamba-Nya. Oleh karena itu, terdapat banyak pilihan bagi perempuan yang harus kembali ke Tanah Air, namun belum benar-benar suci,” ungkapnya.
Pilihan pertama, menurut Badriyah, adalah mencari waktu ketika darah haid sudah sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali untuk melaksanakan tawaf, sa’i, hingga tahalul kedua. Bagi jemaah yang melaksanakannya, tidak akan dikenakan dam.
“Apabila ternyata darah masih keluar sedikit-sedikit dan harus segera pulang, maka itu termasuk uzur syar’i, di luar batas kemampuan kita. Sama halnya dengan seseorang yang wajib shalat namun ternyata mengalami daimul hadas, seperti beser. Lalu, bagaimana solusinya? Tetaplah lakukan shalat dengan banyak berzikir dan beristighfar, karena Insya Allah, Allah akan tetap menerima ibadah kita, sebab haid merupakan bagian dari fitrah yang berasal dari Allah SWT,” terangnya.
Terakhir, bagaimana hukum melaksanakan tawaf wada atau tawaf perpisahan bagi perempuan yang masih haid ketika hendak meninggalkan Tanah Suci? Menurutnya, perempuan yang sedang menstruasi tidak diwajibkan untuk melaksanakan tawaf wada dan tidak dikenakan dam jika tidak melakukannya.
“Karena haid itu berasal dari Allah dan kepulangan ke Tanah Air adalah ketentuan yang tidak dapat dinegosiasikan oleh para jemaah. Jadi, tetaplah pulang dan jangan sampai tertinggal dari rombongan hanya demi melaksanakan tawaf wada,” jelasnya.
“Jangan pernah menjadikan persoalan haid sebagai penghalang untuk melaksanakan tawaf, baik tawaf umrah, tawaf ifadah, maupun tawaf wada. Insya Allah, akan selalu ada solusi yang bisa ditemukan,” tambahnya.
Mengutip dari Liputanku resmi Badan Pengelola Keuangan Haji, ibadah haji terbagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Haji Ifrad
Haji ifrad merupakan jenis pelaksanaan haji yang paling sederhana. Dalam haji Ifrad, jemaah hanya melaksanakan ibadah haji tanpa menggabungkannya dengan ibadah umrah. Keunggulan dari haji ifrad adalah jemaah tidak perlu membayar dam (denda) karena hanya melaksanakan satu jenis ibadah, yaitu haji.
2. Haji Qiran
Haji qiran adalah jenis pelaksanaan haji yang menggabungkan ibadah umrah dan haji dalam satu niat dan satu pelaksanaan. Setelah berniat haji dan umrah secara bersamaan ketika berada di miqat, jemaah melaksanakan seluruh rangkaian ibadah tersebut tanpa keluar dari keadaan ihram.
Setibanya di Mekkah, jemaah melaksanakan tawaf qudum (tawaf di awal kedatangan di Mekkah), dilanjutkan dengan salat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Setelah itu, jemaah melakukan sa’i antara Bukit Shafa dan Marwah yang dilakukan untuk umrah dan haji sekaligus dengan satu sa’i tanpa bertahalul.
Jemaah tetap berada dalam kondisi ihram dan tidak diperbolehkan melakukan hal-hal yang diharamkan saat ihram hingga tiba masa tahalulnya pada tanggal 10 Dzulhijjah. Jemaah haji qiran wajib membayar dam pada tanggal tersebut atau di hari tasyrik sebagai bentuk kompensasi.
3. Haji Tamattu
Haji tamattu adalah bentuk pelaksanaan haji yang diawali dengan melaksanakan umrah terlebih dahulu. Dalam haji tamattu’, jemaah mengambil ihram untuk umrah sebelum kemudian melepaskannya di Mekkah. Setelah selesai melaksanakan umrah dan menunggu waktu haji tiba, jemaah kemudian mengambil ihram lagi untuk melaksanakan haji.
Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam haji tamattu’, seperti tidak termasuk penduduk Masjidil Haram, mendahulukan umrah sebelum haji, dan melaksanakan umrah pada bulan-bulan haji. Jika semua persyaratan terpenuhi, jemaah diwajibkan untuk membayar dam dengan menyembelih seekor kambing sebagai kompensasi.