TANGERANG SELATAN, Nepotiz – Kejutan dialami sejumlah pedagang di Pondok Betung, Tangerang Selatan, ketika mengetahui bahwa lahan tempat mereka mencari nafkah ternyata merupakan aset milik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Selama ini, para pedagang meyakini bahwa lokasi tersebut aman karena mereka telah membayar sewa kepada perantara yang memperkenalkan diri sebagai bagian dari organisasi masyarakat (ormas) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya.
Salah seorang pedagang yang terdampak adalah Darmaji, pemilik warung *seafood*. Ia mulai berdagang di lokasi tersebut sejak Januari 2025, setelah mendapatkan tawaran lapak dari ketua RT setempat.
“Awalnya, saya ditawari oleh Pak RT untuk membuka lapak di sini. Tidak ada iuran, hanya sewa bulanan,” ungkap Darmaji saat ditemui Kapolres Tangsel AKBP Victor Inkiriwang di lokasi, pada hari Sabtu (25/5/2025).
Namun, belakangan Darmaji mengetahui bahwa uang sewa yang telah dibayarkannya tidak disetorkan kepada pihak kelurahan atau instansi resmi. Melainkan, uang tersebut ditransfer ke rekening seseorang bernama Yani, yang disebut-sebut sebagai Ketua GRIB DPC Tangsel.
“Saya sudah melakukan transfer setiap bulan sejak Januari, Februari, Maret, April, hingga Mei, dengan nominal Rp 3,5 juta per bulan,” jelasnya.
Menurut penuturan Darmaji, biaya sewa tersebut mencakup uang keamanan dan biaya listrik. Bahkan, untuk membuka lapaknya, ia telah mengeluarkan dana hingga mencapai Rp 70 juta untuk keperluan pengecoran, pemasangan atap, serta pemasangan lantai.
“Untuk atap dan lantai saja, saya sudah mengeluarkan biaya sebesar Rp 70 juta. Saya baru mengetahui bahwa lahan ini milik BMKG saat polisi datang, makanya saya merasa sangat bingung,” tuturnya.
Tak Mengira Lahan Tersebut Milik Negara
Kisah serupa juga dialami oleh Ina Wahyuningsih, seorang pedagang sapi kurban yang saat ini bertanggung jawab atas 213 ekor sapi di lokasi yang sama.
Awalnya, ia melihat adanya lahan kosong dan berupaya mencari tahu siapa pemiliknya. Kemudian, ia bertemu dengan dua orang yang mengaku sebagai anggota GRIB Jaya, yaitu Keke dan Jamal.
Keke dan Jamal sendiri merupakan anggota GRIB Jaya yang bertugas menjaga lahan BMKG, yang diklaim sebagai milik ahli waris.
"Bang Jamal itu menjabat sebagai Sekjen GRIB Jaya, sedangkan Keke adalah Ketua Ranting dari GRIB Jaya," kata Ina.
Setelah melakukan negosiasi dengan Keke dan Jamal, Ina akhirnya memutuskan untuk menyewa lahan tersebut. Keke dan Jamal mengarahkan Ina untuk berkomunikasi secara langsung dengan Ketua Yani.
“Dulu saya berjualan di sebelah bekas RSUD. Karena tempat itu sekarang sudah menjadi *mini soccer*, saya mencari tempat baru. Saya bertanya kepada Keke dan Bang Jamal dari GRIB, dan mereka menyarankan untuk menghubungi Ketua Yani,” jelas Ina.
Setelah melalui proses negosiasi, Yani meminta uang sewa sebesar Rp 25 juta. Uang tersebut, menurutnya, sudah termasuk biaya perizinan. Padahal, biasanya Ina mengaku hanya membayar sewa sebesar Rp 10 juta sampai selesai.
"Tapi kan kami selalu berkoordinasi dengan RT, RW, Lurah, Babinsa, dan semua itu memerlukan uang. Akhirnya Ketua Yani mengajukan, 'Bagaimana kalau di-*include* saja. Ibu tidak perlu tahu menahu soal RT-RW, biar kami yang urus. *Include* minta Rp 25 juta'," papar Ina.
Bagi Ina, angka tersebut terlalu tinggi. Setelah melakukan tawar-menawar, akhirnya disepakati nominal sebesar Rp 22 juta, yang dibayarkannya secara bertahap ke rekening atas nama Yani.
Bahkan, sempat ada permintaan tambahan sebesar Rp 5 juta saat Yani sedang berada di Bali, dengan alasan bahwa salah satu petinggi GRIB dikabarkan meninggal dunia.
“Totalnya menjadi Rp 22 juta. Saya percaya saja karena mereka mengatakan bahwa semuanya sudah berkoordinasi dengan RT, RW, lurah, serta Babinsa,” tutur Ina.
Terkejut dan Merasa Bingung
Namun, pada kenyataannya, lahan tersebut bukanlah milik ahli waris seperti yang diklaim oleh GRIB, melainkan merupakan aset milik BMKG. Baik Darmaji maupun Ina mengaku merasa terkejut dan bingung dengan situasi ini.
“Saya tidak ada masalah jika memang lahan ini bukan hak saya. Namun, saya mohon kebijaksanaannya karena ini adalah hewan hidup, dan jika harus dipindahkan, akan membutuhkan banyak biaya,” ujar Ina sambil berharap agar bisa tetap berjualan sampai momen Idul Adha tiba.
Pihak BMKG pun meminta Darmaji untuk segera membongkar lapaknya.
Sementara itu, Ina yang sudah membuka lapak sejak tanggal 10 Mei 2025, diberikan kelonggaran untuk tetap berjualan hingga tanggal 8 Juni 2025, yang bertepatan dengan hari raya Idul Adha.