Penertiban lahan BMKG yang sebelumnya ditempati oleh GRIB Jaya di Pondok Betung, Tangerang Selatan, Banten, berdampak pada dua pedagang yang beraktivitas di sana. Mereka mengaku tidak mengetahui bahwa tanah tempat mereka menyewa lapak dari ormas GRIB tersebut adalah milik BMKG.
Kapolres Tangerang Selatan, AKBP Victor Inkiriwang, berkesempatan berdialog langsung dengan kedua pedagang tersebut. Pedagang pertama yang diajak berbicara adalah Darmaji, pemilik warung *sea food*.
Victor menanyakan kepada Darmaji mengenai awal mula ia mendirikan usaha restorannya di lahan tersebut. Darmaji mengungkapkan bahwa ia sudah membuka lapaknya sekitar lima bulan di lokasi itu.
Darmaji juga menjelaskan bahwa ia mendapat tawaran dari Ketua RT di lingkungannya untuk membuka lapak di lahan tersebut. Kemudian, ia menyatakan bahwa ia membayar biaya sewa bulanan untuk dapat berjualan di sana.
"Awalnya, saya ditawari oleh Pak RT untuk membuka lapak di sini," ujar Darmaji ketika ditanya oleh Victor di tengah berlangsungnya penertiban lahan, Sabtu (24/5/2025).
"Membuka lapak di sini? Izinnya dari siapa? Pak RT? Apakah ada iuran?" tanya Victor.
"Tidak ada iuran, hanya sewa bulanan saja," jawab Darmaji.
"Sewa bulanan tersebut diserahkan kepada siapa?," tanya Victor.
"Saya transfer, Pak," jawab Darmaji.
"Atas nama siapa?" tanya Victor lagi.
"Pak Yani," jawab Darmaji.
"Siapa Pak Yani itu?," tanya Victor, penasaran.
"Ketua GRIB," jawab Darmaji.
Selama lima bulan berjualan, Darmaji mengaku rutin membayar uang sewa tersebut. Uang itu dikirimkan melalui transfer bank ke rekening Ketua GRIB Kota Tangsel, Yani Tuanaya.
"(Uang sewanya) Rp 3,5 juta," kata Darmaji.
Sejak awal membuka lapaknya di sana, Darmaji mengaku tidak pernah mendapatkan penjelasan mengenai status lahan tersebut atau siapa pemiliknya. Ia hanya membayar uang sewa yang diperuntukkan bagi keperluan lapak, termasuk biaya keamanan dan listrik.
"Benar, uang Rp 3,5 juta itu untuk sewa, keamanan, dan juga biaya listrik," kata Darmaji saat dikonfirmasi mengenai peruntukan uang tersebut.
Selanjutnya, pedagang sapi kurban yang berada di lokasi, Ina Wahyuningsih, juga diajak berdialog oleh Victor. Ia memiliki 213 ekor sapi yang saat ini ditempatkan di lahan tersebut.
Ina mengaku sudah menempati lahan itu sejak tanggal 10 Mei lalu. Sapi-sapi yang dijualnya didatangkan langsung dari Bali.
Ketika Victor bertanya mengenai alasan Ina memilih lahan tersebut untuk berdagang, Ina menceritakan bahwa ia sempat kesulitan mencari lahan kosong. Akhirnya, Ina mengaku bertemu dengan seorang anggota GRIB dan mengetahui bahwa ada lahan kosong yang dikuasai oleh ormas tersebut.
"Saya melihat lahan ini kosong, lalu saya bertanya kepada mereka," tutur Ina.
"Bertanya kepada siapa?" tanya Victor.
"Keke sama Bang Jamal," jawab Ina.
"Jabatan mereka apa?"
"Bang Jamal itu sekjen dari GRIB, kalau Keke Ketua Ranting dari GRIB. Saya bertanya apakah saya bisa menggunakan lahan ini? Lalu saya harus menghubungi siapa? Ketua Keke kemudian menjawab, 'Saya telepon dulu ya, Mpok Ketua Yani.' Waktu itu, saya belum mengenal Ketua Yani," jelas Ina.
"Akhirnya mereka menelepon dan kami membuat janji. Ketua Yani menyetujui dan berkata 'Tidak apa-apa, aman di sini.' Saya bertanya, ini lahan punya siapa? Dia menjawab 'Aman, ini kekuasaan kami.' Maksudnya, mereka menyebut diri sebagai ahli waris. Mereka meminta kami untuk menjaga lahan itu. Jika aman, ya sudah," jelas Ina.
Setelah merasa yakin, keduanya pun bernegosiasi mengenai biaya pemakaian lahan tersebut. Ina mengatakan bahwa biasanya ia menyewa lahan seharga Rp 10 juta hingga hari lebaran haji tiba.
"Sewa satu lahan itu berlaku sampai selesai. Tapi, kami selalu berkoordinasi dengan RT, RW, Lurah, Babinsa, dan itu semua membutuhkan biaya. Ketua Yani kemudian menawarkan 'Bagaimana kalau di-*include* saja? Ibu tidak perlu tahu soal RT-RW dan lain-lain, biar kami yang urus semua, *include* minta 25 juta, iya kan?' Akhirnya, setelah bernegosiasi, kami sepakat di angka 22 juta," kata Ina.
"(Uang) 22 juta itu, menurut mereka, sudah termasuk semua biaya koordinasi dan lain-lain. Akhirnya, saya setuju. Saya bilang akan saya lunasi setelah sapi diturunkan," sambungnya.
Sama seperti Darmaji, usaha sapi milik Ina juga mengirimkan sejumlah uang kepada Yani Tuanaya. Ia mengirimkan uang sebesar Rp 22 juta sebagai 'uang koordinasi'.
Kini, keduanya harus menelan kekecewaan. Mereka dilarang berjualan lagi di lahan tersebut.
Darmaji harus membongkar lapaknya dan mencari lokasi baru. Namun, Ina mendapatkan keringanan untuk tetap berada di sana hingga hari raya Idul Adha tiba.