Pelecehan Siswi SMP di Depok: Pentingnya Tenaga Pendidik Paham Konsep Pelecehan Seksual
Diduga, tujuh siswi dari sebuah SMP di Depok menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang guru IPS dengan inisial IR. Saat ini, Polres Depok tengah menindaklanjuti laporan terkait kasus ini.
Pihak sekolah telah mengeluarkan pernyataan resmi. Sayangnya, pernyataan tersebut justru mengindikasikan kurangnya pemahaman pihak sekolah mengenai konsep pelecehan seksual, terutama yang berkaitan dengan perlindungan anak sebagai korban.
Ety Kuswandarini, selaku Kepala UPTD SMP yang bersangkutan, menyampaikan pernyataan yang sangat disayangkan. Video yang berisi penjelasan Ety tersebut bahkan telah tersebar luas di berbagai platform media sosial.
Pernyataan tersebut tidak hanya menyakiti perasaan para korban, tetapi juga memperlihatkan kurangnya pemahaman tentang konsep kekerasan seksual terhadap anak. Padahal, yang bersangkutan adalah seorang kepala sekolah yang bertanggung jawab atas pendidikan ratusan siswa.
Pelecehan seksual, meskipun hanya berupa perkataan (verbal), tetap merupakan bentuk kekerasan seksual. Tentunya, hal ini akan memberikan dampak, baik besar maupun kecil, bagi korban maupun bagi siapapun yang mendengarnya.
Mungkin beberapa dekade lalu, bersiul atau melontarkan kata-kata bernada sensual kepada perempuan di jalanan tidak dianggap sebagai pelecehan seksual. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, tindakan tersebut kini dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Kekerasan seksual tidak selalu berkaitan dengan niat pelaku yang semata-mata bersifat seksual. Akan tetapi, apabila korban merasa bahwa tindakan pelaku berdampak secara seksual, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Indonesia telah memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Pasal 5 dalam undang-undang ini mengatur mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan seksual verbal, dengan ancaman hukuman maksimal 9 bulan penjara dan/atau denda maksimal sebesar Rp 10 juta.
Oleh karena itu, penggunaan diksi “hanya” yang dilontarkan oleh Ety sangatlah tidak tepat. Meskipun berbentuk verbal, tindakan tersebut telah termasuk ke dalam kategori pelecehan seksual sesuai dengan UU TPKS.
Pelecehan seksual verbal berpotensi menimbulkan dampak psikologis yang mendalam bagi korban, terlebih lagi jika korbannya adalah anak-anak usia SMP. Pemahaman mereka tentang konsep-konsep seksualitas masih belum matang.
Pelecehan seksual verbal yang dibiarkan begitu saja dapat memberikan pemahaman yang keliru mengenai seksualitas kepada anak. Hal ini tentu saja dapat membuat anak menjadi lebih rentan menjadi korban di kemudian hari.
Bahkan, bukan tidak mungkin bahwa korban kekerasan seksual di masa lalu, tanpa adanya penanganan yang tepat, berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual di masa depan.
Hal ini perlu dipahami oleh para tenaga pendidik dan pihak-pihak yang terlibat dalam perlindungan anak, agar tidak meremehkan kekerasan seksual, meskipun hanya dalam bentuk verbal.
Pernyataan Ety yang mengatakan bahwa guru IR “dipancing anak” juga menunjukkan bahwa yang bersangkutan kurang memahami konteks kekerasan seksual terhadap anak.
Dalam UU Perlindungan Anak, tindakan aktif maupun pasif dari anak tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran atas terjadinya tindakan seksual terhadap anak, baik itu pencabulan maupun persetubuhan.
Kekerasan seksual terhadap anak tidak mengenal konsep suka sama suka. Bahkan, jika seorang anak mengajak orang dewasa untuk melakukan tindakan seksual, maka orang dewasa tersebut dapat dikenakan pasal terkait kekerasan seksual terhadap anak.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa kematangan konsep seksual pada anak belum terbentuk sepenuhnya. Sebaliknya, orang dewasa seharusnya menolak ajakan tersebut.
Terlebih lagi jika orang dewasanya adalah seorang pendidik, yang seharusnya melindungi anak. Oleh karena itu, dalam UU Perlindungan Anak maupun UU TPKS, diatur hukuman tambahan berupa sepertiga dari hukuman pokok jika pelaku adalah tenaga pendidik.
Adanya hukuman tambahan bagi pendidik, orang tua, atau pengasuh diharapkan dapat memberikan efek jera agar mereka yang dekat dengan anak tidak melakukan kekerasan seksual.
Pemerintah Kota Depok, sebagai institusi yang menaungi SMP Negeri di Depok, perlu memberikan perhatian serius terhadap peristiwa ini.
Tidak hanya memastikan bahwa penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya, tetapi juga mengevaluasi kinerja tenaga pendidiknya, termasuk kepala sekolah yang kurang memahami konsep kekerasan seksual dan perlindungan anak, seperti contoh kasus kepala sekolah ini.
Jika diperlukan, perlu diadakan asesmen kepada seluruh tenaga pendidik, termasuk kepala sekolah, mengenai pemahaman mereka tentang kekerasan seksual dan perlindungan anak.
Dari hasil asesmen tersebut, tenaga pendidik yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual sebaiknya mendapatkan penanganan yang tepat agar mereka tidak melakukan kekerasan seksual saat menjalankan perannya sebagai pendidik.
Sementara itu, tenaga pendidik yang kurang memahami tentang kekerasan seksual dan perlindungan anak perlu diberikan sosialisasi yang lebih mendalam mengenai kedua hal tersebut.
Untuk rekrutmen tenaga pendidik baru, perlu diadakan pula asesmen serupa serta penandatanganan pakta integritas terkait kekerasan seksual.
Upaya ini diharapkan dapat meminimalkan terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Dan tentunya, tidak hanya Depok saja, daerah lain pun perlu melakukan upaya serupa.
Nepotiz adalah seorang blogger perjalanan yang telah mengunjungi lebih dari 20 provinsi di Indonesia. Tulisan Nepotiz dikenal karena detail yang kaya dan perspektif yang unik. Liputanku.