“`html
Ketua Mahkamah Agung (MA), Bapak Sunarto, menyampaikan bahwa hakim memang tidak mungkin menjadi ‘malaikat’ sepenuhnya. Namun, beliau juga menegaskan bahwa tidak seharusnya hakim bertindak seperti ‘setan’. Pernyataan ini kemudian memicu berbagai tanggapan, ada yang pro, ada pula yang kontra.
Pernyataan tersebut disampaikan saat Bapak Sunarto memberikan pengarahan dalam acara pembinaan yang berlangsung di kantor MA RI, Jakarta Pusat, pada hari Jumat, 23 Mei 2025. Pengarahan ini ditujukan langsung kepada para hakim yang hadir sebagai peserta.
“Kita semua, para hakim, memang tidak bisa diharapkan untuk menjadi malaikat sepenuhnya. Hakim juga adalah manusia biasa. Tetapi, jangan sampai hakim menjadi setan. Dalam diri manusia, selalu ada pertarungan antara sisi malaikat dan sisi setan. Mana yang lebih dominan? Apakah lebih condong ke sisi malaikat atau justru ke sisi setan?” demikian ujar Bapak Sunarto.
“Sesekali melakukan kesalahan, itu wajar. Manusia memang tempatnya salah. Tetapi, jangan sampai kesalahan itu dibudayakan, dijadikan sebuah kebiasaan,” sambungnya.
Beliau juga menambahkan, di era digital seperti saat ini, para hakim hendaknya menyadari bahwa mereka seolah-olah hidup di dalam akuarium. Setiap gerak-gerik mereka akan mudah terpantau dan diketahui oleh publik.
“Bapak-Ibu sekalian hidup bagaikan ikan di dalam akuarium. Setiap gerakan, naik turunnya, semua terlihat jelas. Di era digital ini, berhati-hatilah. Transaksi keuangan bisa terlacak, kunjungan ke tempat hiburan, ke hotel, semua bisa ketahuan. Apakah hal-hal seperti ini masih akan terus dilakukan? Mohon disadari betul, Bapak-Ibu sekalian,” tegas beliau.
Dinilai Sebagai Sikap Berani
“Mengenai pernyataan Ketua MA yang menyatakan bahwa hakim tidak bisa menjadi malaikat, tetapi jangan sampai menjadi setan, menurut saya itu adalah pernyataan yang jujur dan berani. Saya mengapresiasi keterbukaan Ketua MA yang berusaha menempatkan persoalan ini secara realistis, sambil tetap menyampaikan pesan penting,” ujar Bapak Rano saat dihubungi pada hari Jumat, 23 Mei 2025.
Bapak Rano menjelaskan bahwa pernyataan Bapak Sunarto tersebut bertujuan untuk menghindari generalisasi negatif terhadap lembaga peradilan hanya karena tindakan beberapa oknum. Beliau juga menekankan bahwa sebenarnya ada banyak hakim di berbagai daerah yang bekerja dengan sangat baik.
“Yang terpenting, menurut pendapat saya, adalah kita tidak boleh terjebak dalam generalisasi. Hakim adalah manusia biasa, tetapi banyak dari mereka yang bekerja dengan luar biasa. Saya sering berdialog dengan para hakim di daerah-daerah saat kunjungan kerja Komisi III DPR, dan saya dapat sampaikan bahwa banyak dari mereka yang menjalankan tugas dengan penuh integritas, profesionalisme, dan loyalitas terhadap keadilan. Mereka bekerja dalam tekanan, terkadang di daerah yang jauh dari perhatian, tetapi tetap menjaga marwah institusi,” paparnya.
Meskipun demikian, Bapak Rano mengakui bahwa masih ada oknum hakim di lembaga peradilan yang bermasalah. Oleh karena itu, menurutnya, pembinaan dan penguatan pengawasan terhadap para hakim sangat diperlukan.
“Kita tidak bisa menutup mata bahwa memang ada oknum. Oknum bermasalah ada di mana-mana. Tetapi justru karena itu, pembinaan dan pengawasan harus terus diperkuat. Dan saya melihat Ketua MA menunjukkan komitmen ke arah itu. Pernyataan beliau bukanlah bentuk pembelaan terhadap penyimpangan, melainkan sebuah penekanan bahwa lembaga ini perlu terus diperbaiki, dan itu hanya bisa terjadi kalau kita bersikap jujur terhadap tantangan internal yang ada,” jelasnya.
“Kami di Komisi III DPR mendukung penuh setiap upaya pembenahan, baik dari sisi sistem pengawasan maupun pembinaan integritas. Tetapi di saat yang sama, kita juga harus adil terhadap mayoritas hakim yang bekerja dengan sepenuh hati. Mereka harus dilindungi dari stigma yang tidak proporsional. Kita tidak bisa membiarkan publik kehilangan kepercayaan pada lembaga peradilan hanya karena perilaku segelintir oknum. Jadi, menurut saya, ini saatnya semua pihak, baik MA, KY, Komisi III, maupun masyarakat, bersinergi membangun peradilan yang bersih dan berwibawa,” lanjutnya.
Kritik dari Bapak Hinca
“Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan Ketua MA, ketika hakim diibaratkan bukan malaikat, seolah-olah standar ‘wakil Tuhan di bumi’ dapat direndahkan menjadi sekadar ‘jangan jadi setan’. Penurunan standar itu menyeret hakim-hakim dari posisi tinggi representasi Ilahi ke ranah manusiawi biasa, seolah palu pengadilan tidak lagi terhubung ke langit, melainkan hanya berjarak sedikit dari kepentingan duniawi,” ungkap Bapak Hinca saat dihubungi pada hari Jumat, 23 Mei 2025.
Bapak Hinca mengibaratkan hakim seperti lilin di ruang gelap. Menurutnya, hakim tidak boleh ikut menjadi gelap ketika kegelapan semakin pekat.
“Layaknya satu-satunya lilin di ruang gelap, hakim adalah titik cahaya yang tidak boleh ikut meredup ketika bayangan membesar. Lilin tetaplah lilin, fungsinya adalah menerangi, meskipun sumbunya rapuh dan nyala apinya rentan tertiup angin,” ujarnya.
Lebih lanjut, Bapak Hinca juga berpendapat bahwa tidak ada yang namanya oknum hakim. Dia menegaskan, jika seorang hakim menyimpang, maka ia tidak bisa lagi dianggap sebagai hakim.
“Maka, jika ada oknum polisi, ada oknum jaksa, ada oknum advokat, tetapi harus tegas saya katakan tidak ada oknum hakim. Jika ada hakim yang melenceng, dia bukan hakim. Kata ‘hakim’ mengandaikan kesatuan utuh antara manusia, nilai, dan mandat ketuhanan, sementara ‘oknum’ merujuk pada penyimpangan yang meniadakan kesatuan itu. Dua entitas tersebut tidak mungkin bersatu, seperti air dan api dalam satu wadah. Dengan demikian, begitu ia menyimpang, ia telah melepaskan nama ‘hakim’,” tegasnya.
Meskipun begitu, Bapak Hinca memahami kekecewaan Ketua MA Sunarto terhadap perilaku hakim-hakim di Indonesia. Akan tetapi, ia meminta Sunarto untuk berhati-hati dalam memberikan toleransi baru melalui narasi bahwa hakim bukanlah malaikat.
“Ketua MA boleh saja kecewa dengan perilaku sebagian anak buahnya, tetapi kehati-hatian ekstra dibutuhkan sebelum membuka pintu toleransi baru lewat narasi ‘ah, kita kan bukan malaikat’. Kalimat sederhana ini berpotensi menjadi jalan pintas psikologis yang melonggarkan tali moral semua hakim,” jelasnya.
“Alih-alih tetap menatap tinggi, ia justru mendidik hakim untuk menunduk, nyaman dengan kelemahan manusiawinya, lalu terbiasa berlindung di balik dalih keterbatasan. Ketika paradigma itu menjadi lazim, takhta wakil Tuhan pun pelan-pelan kehilangan aura sakralnya, dan para hakim akan mudah berdamai dengan bayangan-bayangan yang semestinya mereka halau,” lanjutnya.
Pimpinan DPR Menyatakan Persetujuan
“Saya rasa sudah tepat Ketua MA menganalogikan seperti itu. Hakim bukan malaikat, hakim juga manusia sama seperti aparat penegak hukum lainnya, yang tidak luput dari kesalahan, pasti banyak godaan dan cobaannya,” kata Bapak Adies saat dihubungi pada hari Jumat, 23 Mei 2025.
Bapak Adies mengatakan bahwa pihak-pihak yang berperkara pasti akan menghalalkan segala cara untuk menang di pengadilan. Maka dari itu, Adies meminta hakim untuk memperbaiki diri ketika akhirnya tergoda oleh para pihak yang berperkara tersebut.
“Pihak-pihak tertentu yang berperkara di pengadilan, apakah dia benar atau salah, tentu akan berusaha menggoda para hakim agar perkaranya menang, dan kadang menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, hakim, kalau berbuat salah, segera perbaiki, segera introspeksi diri, jangan malah berprilaku sebagai setan,” ucapnya.
Dia juga berharap para hakim memiliki komitmen untuk menjadi wakil Tuhan di bumi ketika sudah memilih profesi tersebut. “Jadi kalau sudah memutuskan ingin menjadi hakim, berperilakulah sebagai wakil Tuhan di bumi, bukan wakil setan di bumi,” imbuhnya.
Anggota Komisi III DPR ini juga mengapresiasi Ketua MA Sunarto yang terus membenahi lembaga peradilan.
“Saya apresiasi kepada Mahkamah Agung di bawah kepemimpinan Prof Sunarto yang tanpa lelah terus berbenah untuk menciptakan dunia peradilan yang betul-betul bersih dan dapat memberikan rasa keadilan kepada masyarakat tanpa pandang bulu,” tutur dia.
“`