JAKARTA, Nepotiz – “Kampung Starling” hadir sebagai sebuah kawasan hunian padat penduduk di jantung Jakarta Pusat. Lokasinya berada di sebuah gang kecil di Jalan Parapatan Baru, Kwitang, Kecamatan Senen.
Daerah ini mayoritas didiami oleh warga pendatang dari Madura yang telah bermukim sejak awal tahun 2000-an.
“Kebanyakan penduduk di sini berasal dari Madura. Mulanya hanya beberapa orang saja, kemudian disusul oleh kerabat dan teman dari kampung halaman. Sekarang jumlahnya sudah mencapai ratusan,” kata Novi (bukan nama sebenarnya), seorang warga Kampung Starling yang telah tinggal sejak tahun 2010, saat berbincang dengan Nepotiz, Jumat (23/5/2025).
Kawasan ini menjadi tempat tinggal bagi warga yang sebagian besar berprofesi sebagai pedagang kopi keliling. Oleh karena itu, tempat ini dikenal dengan sebutan Kampung Starling atau “Starbucks keliling”, sebuah istilah populer di Jakarta untuk para penjual kopi yang biasanya menjajakan dagangannya menggunakan sepeda.
Para warga mendiami rumah-rumah semi permanen yang dibangun berdempetan di lahan sempit sepanjang 350 meter, dengan lebar hanya sekitar 3 meter.
“Mayoritas penghuni di kawasan ini memang berasal dari Madura, tetapi seiring waktu berjalan, ada juga warga dari Pulau Jawa hingga penduduk asli Jakarta,” ungkap Novi.
Menurut penuturan Novi, banyak warga yang datang merantau ke Jakarta dan memilih tinggal di Kampung Starling demi mengadu nasib dan mencari kehidupan yang lebih baik.
“Rata-rata warga di sini datang dari berbagai daerah dengan tujuan mencari pekerjaan dan penghasilan. Walaupun hidupnya serba terbatas, di sini kami bisa bertahan dan terus berusaha,” jelasnya.
Wisnu, seorang pedagang kopi keliling yang merantau dari Madura sejak tahun 2017, menuturkan bahwa warga di Kampung Starling memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain.
“Saya merantau sejak tahun 2017, dan sekarang sudah berkeluarga. Di sini kami saling mengenal, saling membantu. Suasananya seperti di kampung sendiri,” ujar Wisnu.
Wisnu menceritakan bahwa penghasilan hariannya sebagai seorang pedagang kopi keliling berkisar antara Rp 100.000.
Meskipun status legalitas lahan yang mereka tempati masih belum jelas, warga Kampung Starling tetap memilih untuk bertahan.
“Soal legalitasnya, saya kurang tahu pasti, apakah diperbolehkan atau tidak. Tetapi selama ini belum ada tindakan dari pemerintah. Kami juga tidak terlalu memikirkan hal tersebut, yang terpenting kami masih bisa berjualan,” kata Wisnu.
Sementara itu, menurut Novi, lahan yang ditempati oleh warga merupakan milik Bank Indonesia. Oleh karena itu, warga disebut membayar semacam retribusi kepada Bank Indonesia.
“Semua warga membayar, tapi saya tidak tahu pasti jumlahnya berapa, jadi ini legal kalau kita tinggal di sini,” ucap Novi.
Kampung Starling menjadi potret kehidupan ekonomi informal yang berkembang pesat di tengah keterbatasan ruang dan fasilitas.
Sebuah gapura berwarna merah dengan tulisan “Selamat Datang, Komunitas Pedagang Kopi Keliling” menyambut setiap orang yang memasuki gang sempit di kampung tersebut.
Lokasinya berada tepat di sebelah kanan Gedung Bank Indonesia Jakarta, seolah menjadi sebuah ironi akan kesenjangan sosial yang hanya dibatasi oleh dinding.
Saat memasuki kawasan RT 01 RW 05, para pengunjung akan disuguhi pemandangan yang kurang tertata. Di sisi kiri jalan, tampak deretan tempat sampah berwarna kuning yang tidak terurus, dengan isinya meluber ke jalan dan mengalir hingga ke tepian Kali Ciliwung yang menghitam dan berbau tidak sedap.
Deretan gerobak dorong tampak berjajar tidak beraturan, bercampur dengan deretan sepeda para pedagang kopi keliling, yang menjadi ikon komunitas ini.
Di sisi kanan, dinding tinggi kompleks Bank Indonesia menjadi latar belakang bagi permukiman semi permanen tersebut.
Rumah-rumah dengan dinding tripleks dan beratap seng berdiri berimpitan, hanya menyisakan jalan selebar dua meter yang menjadi satu-satunya jalur aktivitas warga.