JAKARTA, Nepotiz – Di tengah kesibukan distrik perkantoran Jakarta Pusat, sebuah permukiman yang dikenal sebagai Kampung “Starling” menyimpan cerita tersendiri.
Kampung Starling, akronim dari “Starbucks Keliling,” adalah sebuah lingkungan yang menjadi saksi dari dinamika ekonomi informal yang tumbuh subur akibat keterbatasan ruang dan fasilitas.
Sebuah gapura berwarna merah dengan tulisan “Selamat Datang, Komunitas Pedagang Kopi Keliling” menyambut setiap orang yang memasuki gang sempit di Jalan Parapatan Baru, Kwitang, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
Lokasinya yang berdekatan dengan Gedung Bank Indonesia Jakarta, seolah mencerminkan ironi tentang jurang sosial yang hanya dipisahkan oleh sebuah tembok.
Ketika memasuki kawasan RT 01 RW 05, pengunjung akan dihadapkan pada pemandangan yang kurang tertata. Di sisi kiri jalan, terlihat deretan tempat sampah berwarna kuning yang tidak terawat, dengan isinya meluber ke jalan dan mengalir hingga ke tepian Kali Ciliwung yang berwarna hitam dan berbau tidak sedap.
“Kalau soal bau dari kali, ya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kami,” ungkap Novi (bukan nama sebenarnya), seorang warga yang ditemui Nepotiz di lokasi tersebut.
Deretan gerobak dorong tertata dengan tidak beraturan, bercampur dengan deretan sepeda pedagang kopi keliling, yang menjadi ciri khas komunitas ini. Di sisi kanan, tembok tinggi kompleks Bank Indonesia menjadi latar belakang permukiman semi permanen tersebut.
Rumah-rumah dengan dinding tripleks dan atap seng berdiri berdekatan, hanya menyisakan jalan selebar dua meter yang menjadi jalur utama aktivitas warga.
Lebih jauh ke dalam, terdapat kontrakan permanen dua lantai dengan sepuluh kamar yang disewakan dengan harga Rp300.000 per bulan.
“Kontrakan ini milik ibu saya. Setiap bulan kami membayar pajak kepada Bank Indonesia, meskipun saya tidak tahu jumlah pastinya,” jelas Novi.
Novi juga menjelaskan bahwa setiap warga yang tinggal di permukiman tersebut membayar pajak kepada Bank Indonesia karena kawasan ini merupakan milik Bank Indonesia.
“Semua membayar pajak, meskipun saya tidak tahu jumlah pastinya, jadi keberadaan kami di sini legal,” kata Novi.
Walaupun dikenal sebagai Kampung Starling, mata pencaharian warga tidak terbatas pada penjualan kopi saja. Sebagian dari mereka juga berdagang makanan.
“Beragam, tidak hanya berjualan kopi saja, tetapi juga ada yang berjualan soto, bakso, ketoprak, dan masih banyak lagi,” ujar Novi sambil menunjuk beberapa gerobak makanan yang terparkir di depan rumah semi permanen.
Mayoritas warga berasal dari Pulau Madura, Pulau Jawa, dan sebagian kecil adalah warga asli Jakarta.
“Mereka datang sejak awal tahun 2000-an, mencari nafkah di Ibu Kota dengan menjajakan kopi instan dan makanan di pinggir jalan, menyusuri trotoar, taman kota, hingga depan stasiun,” terang Novi.
Di bagian tengah permukiman, terdapat sebuah masjid kecil yang menjadi pusat kegiatan spiritual warga.
Masjid tersebut diapit oleh dua bangunan toko sederhana yang menjual kebutuhan pokok seperti termos, kopi sachet, gelas plastik, hingga sabun dan mie instan.
Tepat di depan masjid, terdapat bangunan WC umum yang menjadi fasilitas bersama untuk berwudhu, mandi, dan mencuci pakaian.
Kampung ini membentang sepanjang 350 meter dan dihuni oleh lebih dari 500 jiwa. Meskipun hidup berdekatan, suasana kampung tetap terasa hangat.
Anak-anak bermain di antara gang-gang sempit, ibu-ibu menjemur pakaian di tali jemuran yang terentang di antara bangunan, dan suara ketel mendesis menjadi melodi latar sehari-hari.
“Kami sudah terbiasa di sini, sudah lama juga jadi tidak kaget lagi,” tutur Novi.
Kampung Starling adalah representasi kehidupan kota yang sering terlewatkan, sederhana, sempit, namun penuh dengan semangat.