JAKARTA, Nepotiz – Para Pedagang Kaki Lima (PKL) di kawasan Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, kini merasakan perubahan signifikan. Mereka menyatakan tidak lagi menjadi sasaran pungutan liar (pungli) oleh organisasi masyarakat (ormas), sebuah perubahan yang terjadi setelah penertiban dan relokasi ke tempat penampungan yang disediakan.
Sebelum penertiban ini dilakukan, PKL di Pasar Induk Kramat Jati menjajakan dagangan mereka di area depan akses masuk los pedagang atau bahkan di jalanan, dan mereka diwajibkan untuk membayar pungli kepada ormas.
“Dulu, sekitar Rp 250.000 per bulan. Ancamannya jelas, tidak boleh berjualan jika belum membayar. Sekarang, kami sudah memiliki tempat, menempel dengan tukang bumbu,” ujar Eko (31), seorang PKL, saat ditemui Liputanku di Pasar Induk Kramat Jati, Rabu (21/5/2025).
Eko mengenang masa lalu, saat pendapatannya sedang seret, ia harus memutar otak agar tetap bisa membayar pungli kepada ormas.
Hal ini, menurutnya, sangat membebani karena hasil berjualan tidak selalu menjanjikan keuntungan yang memadai.
“Tentu saja memberatkan, apalagi jika pemasukan sedang menurun. Jadi, ya, harus diakali agar tetap bisa berdagang,” tutur Eko.
Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Dayat (62), seorang pedagang ayam goreng. Ia juga merasakan keberatan yang sama atas pungli yang dulu ditarik oleh salah satu ormas kepada para PKL.
“Dulu diminta bulanan. Di tempat pertama, saya dimintai Rp 500.000 per bulan, kemudian saat pindah ke tempat kedua, menjadi Rp 200.000,” ungkap Dayat.
Kini, Dayat merasa jauh lebih tenang setelah dipindahkan ke lokasi penampungan resmi PKL. Akan tetapi, ia mengeluhkan kondisi penjualan yang cenderung sepi setelah relokasi.
“Sekarang pindah ke tempat penampungan PKL, memang aman, tidak kehujanan, hanya saja pembeli kurang. Saya mengalami sendiri, bayar lapak Rp 2 juta, tetapi sudah sebulan lebih masih sepi,” keluh Dayat.
Oleh karena itu, Dayat merasa bahwa iuran bulanan untuk sewa lapak juga terasa memberatkan. Ia berharap agar pihak pengelola pasar dapat meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh para PKL.
“Ya, saya merasa keberatan, terutama jika pemasukan dari pembeli sedang kurang. Apalagi sekarang harus membayar lapak, ya, kalau bisa harga untuk PKL dibedakan,” harap Dayat.
Sementara itu, Ruti (45), seorang pedagang nasi, mengaku terpaksa akan pulang kampung karena sudah tidak mampu lagi membayar sewa lapak di lokasi yang baru.
“Banyak yang pulang kampung usai penataan (PKL) karena tidak bisa berjualan lagi. Karena tidak boleh berjualan lagi di pinggir jalan, dan harus membayar lapak sekitar Rp 1 juta hingga Rp 2 Juta,” cerita Ruti.
Untuk bertahan hidup, Ruti kini berjualan nasi uduk dari rumah kontrakannya yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Pasar Induk.
Sebagai informasi, Perumda (PD) Pasar Jaya telah menyiapkan tiga lokasi untuk menampung para pedagang kaki lima (PKL) yang terkena penertiban di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur.
Sebelumnya, para PKL tersebut berjualan di lokasi-lokasi yang dilarang di Pasar Induk Kramat Jati, dan mendapatkan perlindungan dari organisasi kemasyarakatan (ormas).
“Kami telah menyiapkan lokasi yang nantinya dapat digunakan oleh PKL yang ditertibkan,” ujar Direktur Utama PD Pasar Jaya Agus Himawan di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Minggu (18/5/2025), seperti yang dikutip Liputanku.
Dengan adanya penyediaan lahan ini, para PKL diharapkan dapat berjualan dengan tenang tanpa mengganggu aktivitas pedagang dan pembeli lainnya di sekitar kawasan pasar.
Selain itu, PD Pasar Jaya juga akan melakukan koordinasi secara intensif dengan lurah, camat, Koramil, dan Kepolisian setempat guna mengantisipasi keberadaan ormas yang menduduki wilayah Pasar Induk Kramat Jati.