Wakil Ketua MPR RI, Ibu Lestari Moerdijat, menyoroti betapa krusialnya pendidikan mengenai antikekerasan seksual di lingkungan sekolah. Hal ini dipandang sebagai langkah preventif yang signifikan dalam upaya mencegah tindak kekerasan seksual terhadap anak-anak.
“Meningkatnya jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua. Kita perlu memprioritaskan pendidikan antikekerasan bagi para siswa dan seluruh masyarakat,” ungkap Ibu Lestari dalam keterangannya pada hari Rabu, 21 Mei 2025.
Pernyataan tersebut beliau sampaikan dalam sebuah diskusi daring yang bertajuk ‘Pentingnya Pendidikan Antikekerasan Seksual di Sekolah’. Acara yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12 pada hari Rabu, 21 Mei tersebut, dipandu oleh Nur Amalia, seorang Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI. Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber kompeten, di antaranya Kapoksi Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Ratih Megasari Singkarru; Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami; Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor; dan Ketua KPAI, Ai Maryani Solihah.
Lebih jauh, Ibu Lestari menekankan bahwa pendidikan antikekerasan seksual di sekolah sebaiknya diawali dengan edukasi seksualitas yang komprehensif. Menurutnya, pemahaman dari sudut pandang agama, biologis, sosial, dan budaya perlu diberikan agar peserta didik dapat memahami hak atas tubuh mereka, pentingnya kesehatan reproduksi, serta bagaimana cara menghormati diri sendiri dan orang lain.
Ibu Lestari, yang juga merupakan anggota Komisi X DPR RI, berpendapat bahwa pengetahuan mengenai batasan-batasan dalam berinteraksi perlu diajarkan sejak usia dini. Hal ini akan menjadi bekal penting dalam mencegah terjadinya kekerasan seksual. Beliau berharap bahwa pendidikan ini dapat meningkatkan kesadaran serta kewaspadaan masyarakat terhadap segala bentuk tindak kekerasan seksual.
Selain itu, Ibu Lestari juga menyampaikan bahwa pendidikan antikekerasan seksual perlu dimulai dengan pemahaman yang menyeluruh tentang seksualitas. Pemahaman ini meliputi aspek agama, biologis, sosial, dan budaya. Edukasi semacam ini sangat penting agar para pelajar memahami hak atas tubuh mereka, menjaga martabat diri, dan memahami pentingnya kesehatan reproduksi, serta belajar untuk saling menghormati antara satu sama lain.
Menurutnya, dengan memahami batasan-batasan dalam berinteraksi dan meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi kekerasan seksual, masyarakat diharapkan mampu membangun mekanisme pencegahan yang efektif, terutama di lingkungan sekolah dan sekitarnya.
Kapoksi Komisi X DPR RI, Rusprita, menyampaikan bahwa kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan masih menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang kuat menjadi salah satu solusi utama. Pemerintah pun aktif mendorong pembentukan satuan tugas perlindungan anak serta Tim Pencegahan Kekerasan di berbagai satuan pendidikan.
Maria dari Komnas Perempuan menegaskan bahwa landasan hukum untuk mencegah kekerasan seksual sebenarnya sudah tersedia. Akan tetapi, implementasinya di lapangan masih perlu diperkuat. Hal ini dikarenakan akar masalah kekerasan seksual seringkali dipicu oleh ketidaksetaraan relasi kuasa dan budaya patriarki yang masih kuat.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ai Maryani Solihah, menekankan urgensi sinkronisasi aturan hukum yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan perlindungan anak. Hal ini penting untuk mendukung upaya pencegahan dan penanganan kasus secara lebih efektif.
Guru SMP Negeri 19 Jakarta Selatan, Endang Yuliastuti Juwardi, menambahkan bahwa pendidikan seksual di sekolah sangat penting agar anak-anak dapat memahami perubahan yang terjadi pada tubuh mereka serta mengenali tanda-tanda kekerasan seksual. Pelatihan bagi para guru juga sangat diperlukan agar mereka memiliki kemampuan untuk mencegah dan menangani kasus kekerasan di lingkungan sekolah.
Dalam diskusi tersebut, wartawan senior Saur Hutabarat turut memberikan usulan mengenai pengawasan lingkungan sekolah dengan memanfaatkan teknologi CCTV. Selain itu, ia juga menyarankan untuk melibatkan staf sekolah yang terpercaya untuk melakukan pengawasan agar upaya pencegahan kekerasan seksual dapat berjalan lebih efektif.