Nepotiz, Jakarta – Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) baru-baru ini menerima kunjungan dari Forum Jaminan Sosial (Jamsos) terkait dengan rencana implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) bagi peserta BPJS Kesehatan yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Juli 2025.
Dalam pertemuan yang berlangsung pada hari Rabu (21/5/2025), Forum Jamsos menyampaikan permohonan agar pemerintah melakukan pengkajian ulang terhadap implementasi KRIS, dengan alasan kebijakan ini berpotensi merugikan kepentingan buruh dan pekerja.
Menanggapi aspirasi tersebut, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Nunung Nuryatono, menegaskan komitmen lembaganya untuk menampung seluruh masukan dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari perwakilan buruh dan pekerja.
“Sebagai institusi yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) untuk meningkatkan kualitas layanan dan sistem perlindungan sosial di Indonesia, kami sangat terbuka terhadap berbagai saran dan masukan dari seluruh pemangku kepentingan,” ungkapnya.
“Kami akan mencatat serta menindaklanjuti masukan-masukan ini sebagai bagian integral dari upaya berkelanjutan untuk memperbaiki sistem jaminan sosial,” tambah Nunung.
Sebagai informasi tambahan, dalam audiensi dengan DJSN, Forum Jamsos menyampaikan beberapa poin utama, termasuk penolakan terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024, khususnya Pasal 46 Ayat 7 yang mengatur tentang Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).
KRIS sendiri merupakan sebuah sistem baru yang bertujuan untuk menghilangkan skema kelas 1, 2, dan 3 dalam BPJS Kesehatan, dan menggantinya dengan satu standar ruang rawat inap yang berlaku bagi seluruh peserta.
Koordinator Forum Jamsos, Yusuf Rizal, menjelaskan bahwa ada tiga poin penting yang disampaikan dalam audiensi dengan DJSN, salah satunya adalah permohonan agar kebijakan KRIS dievaluasi kembali.
Rizal berpendapat bahwa kebijakan KRIS ini bertentangan dengan prinsip keadilan dan semangat gotong royong yang menjadi fondasi jaminan sosial.
“Kami meminta kepada Presiden Prabowo Subianto untuk meninjau ulang berbagai kebijakan terkait jaminan sosial, termasuk Perpres 59/2024,” tegasnya.
Rizal juga mengungkapkan kekhawatirannya mengenai beban biaya yang mungkin akan ditanggung oleh BPJS Kesehatan jika kebijakan KRIS tetap diberlakukan pada 1 Juli 2025.
“Apabila anggaran berkurang, kualitas pelayanan dapat terganggu. Pemerintah seharusnya lebih fokus pada penguatan dana dan peningkatan layanan BPJS Kesehatan, daripada menciptakan kebijakan yang berpotensi menurunkan kualitas layanan,” ujarnya.
Senada dengan hal tersebut, Ketua Institute Hubungan Industrial Indonesia, Saepul Tavip, berpendapat bahwa kebijakan KRIS lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada manfaat positif, terutama bagi para buruh yang selama ini terdaftar di kelas 1 dan 2.
“Jika hal ini disamaratakan, ada potensi terjadinya penurunan kualitas layanan,” ungkapnya.
“Seharusnya, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas ruang rawat inap kelas bawah, bukan malah menurunkan standar yang sudah baik,” jelas Tauvip.
Dalam kesempatan yang berbeda, Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, mengungkapkan bahwa masyarakat tidak pernah diajak berpartisipasi dalam penyusunan aturan mengenai KRIS Satu Kelas Perawatan.
“Sejak proses awalnya saja sudah tidak sesuai dengan perundang-undangan. Dengan diterapkannya KRIS Satu Kelas Perawatan, jumlah tempat tidur bagi pasien JKN akan berkurang,” ungkapnya.
“Sekarang saja sudah sulit mencari tempat tidur, bagaimana jika nanti KRIS satu ruang perawatan diterapkan? Seharusnya KRIS tidak hanya satu ruang perawatan, tetapi harus ada alternatif kelas lain,” jelas Timboel.
Ia juga menyoroti masih banyak rumah sakit maupun tenaga kesehatan yang belum siap dengan kebijakan KRIS Satu Kelas Perawatan.
“Pemerintah seharusnya meningkatkan mutu layanan jaminan kesehatan bagi pekerja, bukan malah mengambil langkah sepihak yang justru menurunkan manfaat jaminan kesehatan, khususnya bagi para pekerja,” tegas Timboel.
Sementara itu, Penggagas Forum Konsumen Indonesia (FKI), Tulus Abadi, menilai bahwa kebijakan KRIS tidak memiliki dasar konstitusional yang kuat.
“Pasalnya, dalam perundang-undangan dan regulasi yang ada, tidak ada satupun pasal yang secara eksplisit menyebutkan adanya penghapusan variasi kelas rawat inap 1, 2, dan 3 bagi peserta JKN,” jelasnya.
“Ini menjadi kebijakan yang anomali. Seharusnya, setiap kebijakan yang digulirkan mengacu pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi publik,” imbuh Tulus.
Ia juga mendesak agar implementasi kebijakan KRIS yang dijadwalkan berlaku per 1 Juli 2025 ditunda sampai ada kesepakatan yang diterima oleh semua pihak.
“Terutama mengakomodasi kepentingan rumah sakit dan masyarakat sebagai peserta JKN,” pungkas Tulus.