Sejak 2024 hingga Mei 2025, sebuah catatan kelam terukir dalam sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini. KPK, sebagai garda terdepan, mencatat bahwa tak kurang dari 363 anggota legislatif, baik di pusat maupun daerah, telah terjerat dalam pusaran kasus korupsi. Sungguh ironis, bukan?
Bahkan, yang lebih memprihatinkan, 201 kepala daerah, dari walikota hingga gubernur, turut terseret dalam jaringan kejahatan yang sama. Sebuah angka yang mencerminkan betapa korupsi telah mengakar dalam sistem pemerintahan kita.
“Jika kita menilik data dari 2024 sampai dengan Mei 2025,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, kepada awak media pada Rabu (21/5/2025), “KPK telah menjerat sejumlah 363 anggota DPR dan DPRD, 171 Bupati dan Wali Kota, serta 30 Gubernur.” Sebuah pernyataan yang lugas, namun menyimpan kepedihan mendalam.
Menurut Budi, produk politik menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam praktik korupsi. Oleh karena itu, KPK terus berupaya melakukan kajian mendalam untuk menekan angka kasus korupsi yang berasal dari kalangan politisi. Sebuah langkah preventif yang patut diapresiasi.
“Tentu saja, jika kita melihat catatan sejarah,” ungkap Budi, “sektor atau produk-produk politik menjadi salah satu ladang subur bagi pelaku korupsi, terutama yang ditangani oleh KPK.” Sebuah pengakuan yang jujur, meskipun pahit untuk ditelan.
“Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya,” lanjutnya, “KPK pernah melakukan kajian terkait sektor politik ini pada tahun 2011, yang berfokus pada perhitungan rasional bantuan keuangan partai politik, baik dari APBN maupun APBD. Sementara untuk kajian tahun ini, cakupannya diperluas dengan melihat pembiayaan politik secara keseluruhan, baik sebelum, saat, maupun setelah pemilu.” Sebuah upaya komprehensif untuk menelisik akar permasalahan.
Kajian mengenai pembiayaan politik ini dilakukan untuk memetakan potensi korupsi yang muncul akibat beban pembiayaan politik yang tinggi. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk memperjelas mekanisme penggunaan anggaran negara yang rentan disalahgunakan untuk kepentingan elektoral. Sebuah langkah strategis untuk mencegah penyimpangan.
“Selain partai politik, KPK juga telah melakukan diskusi dengan KPU, Bawaslu, dan DKPP. Dan KPK juga akan berdiskusi dengan Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan terkait dengan pembiayaan, kemudian juga ke Mendagri, serta para pakar dan juga *stakeholder* lainnya,” jelas Budi. Sebuah pendekatan kolaboratif untuk mencari solusi terbaik.
“Selain itu, KPK juga mendapatkan informasi bahwa RUU pemilu juga masuk ke dalam prolegnas. Sehingga, KPK tentunya berharap kajian yang sedang kami lakukan nantinya juga bisa menjadi *insight*, jadi masukan dalam penyusunan undang-undang pemilu tersebut,” pungkasnya. Sebuah harapan yang tulus untuk perbaikan sistem demokrasi kita.