JAKARTA, Nepotiz – Kabar mengenai pergantian pucuk pimpinan di tubuh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dari Bapak Askolani kepada Letjen Djaka Budi Utama, mendapatkan respons dari Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok lndonesia (Gappri).
Dengan penuh harap, Ketua Umum Gappri, Bapak Henry Najoan, menyampaikan keyakinannya bahwa Bapak Djaka akan berkomitmen penuh dalam menjaga keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) legal di tanah air. Sebuah harapan yang diungkapkan dengan nada optimis.
"Sebabnya, IHT memberikan kontribusi signifikan, mencapai 10 persen dari penerimaan negara yang berasal dari cukai hasil tembakau untuk APBN. Belum lagi sumbangsih lainnya, seperti pajak, penyerapan tenaga kerja yang masif, dan masih banyak lagi," jelas Bapak Henry dalam keterangannya yang disampaikan pada hari Rabu (21/5/2025).
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN Pekerja membersihkan peralatan linting rokok setelah digunakan buruh linting di unit produksi sigaret keretek tangan di pabrik rokok di Surabaya tahun 2007.
Bapak Henry melanjutkan, Gappri, yang telah berdiri kokoh sejak tahun 1950 di Indonesia, menaungi pabrik rokok kretek golongan I, II, dan III. Saat ini, anggota Gappri menguasai pangsa pasar sebesar 70 persen dari total produksi rokok nasional. Sebuah angka yang cukup signifikan.
Namun, Bapak Henry mengungkapkan bahwa IHT legal nasional saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan berat. Pertama, terdapat tidak kurang dari 500 peraturan, baik yang bersifat fiskal maupun non-fiskal, yang membebani IHT kretek. Sebuah beban yang tidak ringan.
Ketatnya regulasi (heavy regulated) ini menimbulkan dampak negatif di lapangan, karena aturan-aturan tersebut tidak terintegrasi dengan baik. Lebih jauh, aturan tersebut terkesan lebih banyak mengadopsi kepentingan para pesaing bisnis global yang masuk melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)-WHO.
"Salah satu akibat nyata dari padatnya peraturan ini adalah kinerja penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) yang tidak mencapai target yang diharapkan. Pada tahun 2024, realisasinya mencapai Rp 216,9 triliun, atau 94,1 persen dari target sebesar Rp 230,4 triliun. Produksi rokok legal pun terus mengalami penurunan," urai Bapak Henry dengan nada prihatin.
Kedua, situasi IHT kretek saat ini membutuhkan adanya deregulasi. Pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang atau sinkronisasi peraturan yang ada agar tercipta rasa keadilan, demi mewujudkan cita-cita kemandirian ekonomi nasional. Sebuah harapan yang tulus.
"Gappri sangat berharap agar pemerintah tidak menerbitkan kebijakan yang justru akan semakin memberatkan IHT kretek. Hal ini penting agar IHT kretek dapat bertahan (resilien) dan memiliki peluang untuk memulihkan diri dari keterpurukan bisnis dan tekanan rokok murah yang tidak jelas asal-usul dan produsennya," ungkapnya dengan nada penekanan.
PEXELS/SETENGAH LIMA SORE Ilustrasi petani tembakau.
Ketiga, adalah keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan Undang Undang No 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif.
Sebagai contoh nyata, aturan mengenai pembatasan nikotin dan tar akan menyulitkan anggota Gappri dalam menyesuaikan diri dengan ketentuan tersebut. Petani tembakau pun akan menghadapi kesulitan serupa, karena rata-rata tembakau lokal memiliki kadar nikotin yang tinggi.
Sementara itu, ketentuan mengenai bahan tambahan di Pasal 32 akan menghilangkan ciri khas produk kretek, yang selama ini bahan tambahannya justru menjadi nilai lebih yang membedakannya.
"Pasal-pasal dalam PP 28/2024, menurut pandangan kalangan industri rokok, menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan. Oleh karena itu, Gappri dengan hormat memohon agar pemerintah dapat meninjau ulang aturan tersebut," tegas Bapak Henry dengan nada serius.
Keempat, Gappri mengajukan permohonan agar diberikan relaksasi pembayaran pemesanan pita cukai, dari yang semula 60 hari menjadi 90 hari. Hal ini bertujuan untuk memberikan daya tahan ekonomi bagi pabrikan rokok, mengingat dampak yang ditimbulkan oleh berbagai faktor.
"Sebab, pabrik rokok membutuhkan insentif, namun dalam situasi seperti ini, negara juga sangat membutuhkan pemasukan," ucap Bapak Henry, menyuarakan keseimbangan antara kebutuhan industri dan negara.
Kelima, imbuh Bapak Henry, Gappri mendorong agar dilakukan moratorium kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE). Hal ini diharapkan dapat berlangsung selama tahun 2026-2029, agar IHT dapat pulih, terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal-usul dan produsennya.
Selama ini, pungutan negara terhadap IHT kretek sudah mencapai angka yang cukup signifikan, yaitu 70 hingga 82 persen pada setiap batang rokok legal.
"Pada tahun 2029, ketika daya beli masyarakat membaik, tarif dapat dinaikkan sesuai dengan kondisi pertumbuhan ekonomi atau inflasi," ujar Bapak Henry, memberikan usulan yang realistis.
Keenam, Gappri juga mendorong adanya kebijakan tarif cukai yang inklusif dan berkeadilan, secara seimbang mempertimbangkan aspek kesehatan, tenaga kerja di sektor IHT, pertanian tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan negara, melalui Peta Jalan (Roadmap) lndustri Hasil Tembakau 2026-2029.
PIXABAY/GERD ALTMANN Ilustrasi rokok.
Ketujuh, Gappri pun mendukung upaya berkelanjutan dalam melaksanakan operasi gempur rokok ilegal, dengan melakukan penindakan secara tegas hingga ke produsen ilegalnya. Sebuah langkah yang patut diapresiasi.
"Gappri berharap diberikan kesempatan untuk beraudiensi dengan Bapak Dirjen Bea Cukai Letjen Djaka Budi Utama, dengan tujuan untuk mencari solusi bersama dalam mengamankan pendapatan negara dari sektor Cukai Hasil Tembakau, menjaga kelangsungan lapangan pekerjaan yang tersedia, memberikan efek ganda yang positif, menciptakan nilai tambah, serta mengamankan investasi. Semua ini sejalan dengan cita-cita mewujudkan kedaulatan ekonomi dan nasional," pungkas Bapak Henry dengan penuh keyakinan. Liputanku akan terus mengikuti perkembangan isu ini.