Senin, 19 Mei 2025, sekitar pukul 12.48 WIB, sebuah peristiwa tragis terjadi di JPL 08, dekat stasiun Magetan, Jawa Timur. KA Malioboro Ekspres, dalam perjalanannya, menabrak sejumlah sepeda motor. Akibat dari kejadian nahas ini, empat pengendara motor kehilangan nyawa.
Menurut kronologi yang diuraikan oleh Kasatlantas Polres Magetan, AKP Ade Andini, rangkaian peristiwa bermula ketika palang pintu perlintasan ditutup sebagai persiapan untuk lewatnya sebuah kereta api.
Kereta api yang pertama melintas adalah KA Matarmaja, bergerak dari arah timur ke barat. Setelah KA Matarmaja lewat, palang pintu perlintasan dibuka. Namun, tanpa diduga, ternyata masih ada KA Malioboro Ekspres yang akan melintas dari arah barat menuju timur.
Tragisnya, KA Malioboro Ekspres kemudian menabrak tujuh sepeda motor, menyebabkan empat orang meninggal dunia di tempat kejadian.
Ironisnya, di tengah duka yang mendalam, akun-akun media sosial PT Kereta Api Indonesia (KAI) justru memposting mengenai pentingnya mendahulukan kereta api di perlintasan sebidang. Seolah tak ada empati yang tersisa.
Sebenarnya, secara normatif, unggahan tersebut tidak sepenuhnya salah. Pasal 124 UU 23/2007 tentang Perkereta Apian memang mewajibkan pengguna jalan untuk memprioritaskan perjalanan kereta api di perlintasan sebidang atau jalan raya yang berpotongan dengan rel.
Akun Facebook KAI baru terlihat membuat postingan duka cita pada hari Selasa, 20 Mei 2025, pukul 14.54 WIB. Ini berarti lebih dari 24 jam setelah kejadian, dan ironisnya, baru dilakukan setelah mendapatkan banyak komentar dari netizen, termasuk beberapa portal berita.
Namun, dalam situasi di mana kecelakaan baru saja terjadi dan merenggut nyawa orang yang tidak bersalah, unggahan PT KAI tersebut terasa sangat tidak peka dan mencerminkan hilangnya rasa empati di dalam korporasi.
Terlebih lagi, muncul dugaan adanya kelalaian dari petugas palang pintu yang membuka palang sebelum kereta api benar-benar selesai melintas.
Seolah-olah, PT KAI ingin membangun narasi bahwa dalam setiap kecelakaan yang melibatkan kereta api, hampir pasti pengguna jalanlah yang bersalah. Sebuah framing yang menyakitkan.
Memang, harus diakui bahwa masih banyak pengguna jalan yang kurang memperhatikan keselamatan, termasuk ketika palang pintu sudah ditutup. Tapi, apakah para korban di Magetan termasuk dalam kategori tersebut? Pertanyaan yang menghantui.
Apalagi dengan kronologi yang dirilis oleh Polres Magetan, yang menyatakan bahwa palang pintu sudah terbuka sebelum KA Malioboro Ekspres melintas, jelas mengindikasikan adanya potensi kelalaian dari petugas penjaga palang pintu KA.
Sebagai operator, PT KAI sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah dalam sebuah kecelakaan, terutama yang melibatkan kereta api. Itu adalah ranah penyelidikan.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika PT KAI menahan diri untuk tidak mengunggah hal-hal yang berkaitan dengan kecelakaan tersebut, setidaknya sampai hasil penyelidikan dari kepolisian selesai.
Lebih dari itu, langkah yang jauh lebih bijak adalah jika PT KAI membantu kepolisian dengan menyediakan informasi atau petunjuk terkait kecelakaan, misalnya rekaman CCTV, data perjalanan KA, dan mendorong pegawainya untuk menjadi saksi secara netral, sehingga kejadian ini bisa diusut tuntas sampai ke akar-akarnya.
Mendahulukan perjalanan KA memang merupakan amanat dari pasal 124 UU 23/2007 tentang perkeretaapian, dan palang pintu hanyalah “alat bantu”. Hal ini tidak bisa dijadikan pembenaran atas kelalaian petugas palang pintu. Keadilan harus ditegakkan.
Justru, para pengguna jalan pada kejadian tersebut, jika kronologi yang disampaikan oleh Polres Magetan benar, sudah mematuhi aturan yang berlaku. Mereka tidak bersalah.
Maka, membuat postingan tentang palang pintu ketika terjadi kecelakaan yang diduga disebabkan oleh kelalaian petugas palang pintu adalah langkah yang sangat tidak bijak dari PT KAI. Sebuah tindakan yang menyakiti hati.
Apalagi jika kita menyimak pernyataan Rokhmad Makin Zainul, Manager Humas KAI Daop 7 Madiun, yang menekankan bahwa palang pintu hanyalah alat bantu, seolah menunjukkan bahwa PT KAI tidak mau disalahkan atas kesalahan yang diduga dilakukan oleh pegawainya. Ini adalah bentuk penghindaran tanggung jawab.
PT KAI, cobalah untuk sedikit berempati. Citra perusahaan akan terbangun dengan baik secara alami melalui layanan-layanan yang memuaskan pelanggannya.
Termasuk bagaimana perusahaan berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya, dalam hal ini, para pengguna jalan yang menjadi korban. Sebuah sentuhan kemanusiaan akan jauh lebih berarti.