Sebagai seorang anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Gerindra, Bapak Longki Djanggola menyoroti sebuah isu penting: jam kerja para pekerja rumah tangga (PRT) yang selama ini seakan tak terbatas. Dalam semangat memperjuangkan hak-hak mereka, Bapak Longki mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) mengatur pembatasan jam kerja PRT, idealnya 8 jam sehari.
Usulan ini beliau sampaikan dengan penuh semangat dalam RDPU bersama Komnas HAM dan Komnas Perempuan, bertempat di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Selasa, 20 Mei 2025. Bapak Longki menegaskan bahwa setiap PRT berhak atas kepastian jam kerja, sebuah hak yang selama ini seringkali terabaikan.
Menurut Bapak Longki, “Tidak adanya standar upah dan waktu kerja yang jelas, pengelolaan waktu kerja yang tidak disertai standar upah minimum, serta batasan kerja maksimum seperti yang diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan lainnya, sangat disayangkan.”
“Kondisi ini, terus terang saja, membuka celah eksploitasi tenaga kerja yang tak berujung,” sambungnya dengan nada prihatin.
Oleh karena itu, usulan pembatasan jam kerja PRT menjadi sangat krusial. Bapak Longki juga menekankan pentingnya hak libur bagi setiap PRT, sebuah hak yang seringkali terlupakan.
“Saya mengusulkan agar RUU ini menyertakan klausul yang secara eksplisit mengatur batas waktu kerja maksimal, misalnya 8 jam per hari, hak atas hari libur mingguan yang jelas, serta upah minimum yang layak, yang idealnya disesuaikan dengan UMR daerah,” ujarnya dengan penuh harap.
Tak hanya jam kerja dan libur, Bapak Longki juga menyuarakan hak PRT untuk mendapatkan upah yang layak. Beliau mengusulkan agar upah PRT disesuaikan dengan upah minimum provinsi (UMP) di daerah masing-masing.
“Pasal 11 huruf d memang menyebutkan bahwa PRT berhak mendapatkan upah berdasarkan kesepakatan, tetapi sayangnya tidak ada ketentuan upah minimum khusus untuk PRT. Tanpa adanya dasar angka konkret, pemberi kerja berpotensi menetapkan upah yang sangat rendah, jauh di bawah UMP,” paparnya dengan nada menjelaskan.
“Saya mengusulkan agar ditambahkan klausul yang menegaskan bahwa upah PRT tidak boleh lebih rendah dari UMP setempat dan dijamin tunjangan hari raya, hari libur, dan upah lembur,” lanjutnya, menekankan pentingnya keadilan.
Selain itu, beliau juga mengusulkan agar PRT tidak perlu lagi melapor ke RT maupun RW. Menurutnya, kewajiban lapor ini berpotensi menjadi alat kontrol sosial yang kurang efektif.
“Saya mengusulkan agar kewajiban ini dialihkan kepada pemberi kerja, dengan menyediakan layanan pelaporan digital melalui Dinas Ketenagakerjaan setempat, bukan melalui RT/RW yang berpotensi tidak netral,” ungkapnya dengan argumentasi yang kuat.
Lebih jauh, Bapak Longki juga meminta agar RUU PPRT mengatur tentang sanksi pidana bagi pemberi kerja yang melanggar hukum. Beliau menyoroti bahwa pelanggaran terhadap PRT seringkali berupa kekerasan, pelecehan, dan pengabaian upah.
“Saya mengusulkan agar ditambahkan draf atau pasal khusus mengenai sanksi pidana, perdata, dan administratif bagi para pemberi kerja maupun penyalur yang melanggar hukum,” jelasnya dengan nada serius.
Selain itu, menurut Bapak Longki, RUU PPRT juga harus memperkuat perlindungan dari kekerasan. Beliau mengatakan bahwa saat ini belum ada aturan yang secara tegas mengatur mengenai mekanisme pengaduan perlindungan terhadap kekerasan yang menimpa PRT.
“Saya mengusulkan agar ditambahkan pasal khusus yang mengatur mekanisme pengaduan yang mudah diakses, serta perlindungan sementara bagi korban,” tuturnya dengan harapan agar RUU ini benar-benar melindungi para PRT.