Komisi Nasional Disabilitas (KND) menyampaikan sebuah gagasan penting: bagaimana jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan mereka yang memiliki masalah dengan ingatan dapat memberikan kesaksian yang sah di pengadilan, bahkan disumpah? KND berpendapat bahwa peran ODGJ seharusnya lebih dari sekadar menjadi petunjuk dalam proses hukum.
Alboin Samosir, yang mewakili Pokja Hukum KND, mengutarakan hal ini dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI. Diskusi ini berfokus pada masukan untuk Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada hari Selasa, 20 Mei 2025. Alboin memulai dengan menyoroti pasal dalam KUHAP yang saat ini berlaku, khususnya yang berkaitan dengan ODGJ.
“Pasal dalam KUHAP ini menyatakan bahwa ‘seseorang yang dapat dimintai keterangan tanpa sumpah atau janji adalah anak yang belum berumur 15 tahun dan belum pernah menikah, dan orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa’,” jelas Alboin.
“Jika kita cermati pasal ini, terkesan memberikan semacam pengakuan kepada orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa. Seolah-olah kita sudah bisa menerima keberadaan mereka dalam persidangan tanpa perlu sumpah atau janji. Namun, setelah kami telusuri lebih lanjut, ternyata peran mereka hanya sebatas petunjuk. Ini sangat disayangkan,” lanjutnya dengan nada prihatin.
Alboin mengakui bahwa dia tidak mengetahui secara pasti bagaimana pasal tersebut dirumuskan. Namun, ia menyayangkan jika keberadaan ODGJ dalam persidangan hanya dianggap sebagai petunjuk semata.
“Padahal, jika kita berbicara tentang alat bukti, seharusnya mereka bisa menjadi saksi yang memberikan keterangan, dan keterangan tersebut bisa menjadi alat bukti yang sah. Bukan hanya sekadar petunjuk. Inilah yang sangat kami sesalkan,” tegasnya.
Menurutnya, pasal tersebut secara tidak langsung mengurangi hak-hak penyandang disabilitas. Padahal, idealnya, penyandang disabilitas memiliki kedudukan yang setara di mata hukum.
“Sekali lagi, menurut pandangan kami, pasal ini, dengan menempatkan orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa, secara tidak langsung mendegradasi atau mereduksi hak-hak penyandang disabilitas,” ulangnya.
Alboin kemudian memberikan contoh konkret. Bayangkan, dalam sebuah kasus, hanya seorang ODGJ yang melihat dan mengetahui kejadian sebenarnya. Dalam situasi seperti ini, keterangan dari ODGJ tersebut akan sangat krusial dan berpengaruh terhadap jalannya kasus.
“Misalnya, dalam sebuah kasus, seorang penyandang disabilitas menjadi saksi mata. Katakanlah, dia mengalami gangguan mental. Ketika keterangannya diminta oleh pengadilan, diperbolehkan, tetapi tanpa perlu disumpah atau janji. Bukankah ini diskriminatif?” paparnya dengan nada bertanya.
“Padahal, bisa jadi dia adalah saksi yang benar-benar melihat, menyaksikan, dan mendengar semua peristiwa pidana tersebut. Inilah yang sangat kami sayangkan,” tambahnya dengan penekanan.
Oleh karena itu, dia meminta agar poin b dalam pasal tersebut dihapuskan. Menurutnya, ODGJ memiliki kapasitas untuk memberikan keterangan sebagai saksi yang sah di pengadilan.
“Karena itu, kami sangat berharap pasal ini sebaiknya dihapus saja, karena justru akan menimbulkan permasalahan dalam praktik implementasinya di lapangan,” tuturnya dengan harapan.
“Karena, sekali lagi, kedudukan penyandang disabilitas, baik sebagai saksi, tersangka, maupun korban, tidak akan dapat dimaksimalkan dalam proses peradilan, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga proses di pengadilan,” imbuhnya dengan nada serius.
Lebih jauh, Alboin juga mengusulkan agar penyandang disabilitas diberikan kedudukan yang setara di mata hukum. Menurutnya, penyandang disabilitas memiliki potensi untuk menjadi tersangka, saksi, maupun korban dalam suatu perkara hukum.
“Penambahan pasal yang kami usulkan, yaitu pasal 137, menyatakan bahwa penyandang disabilitas dapat berstatus sebagai tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, atau korban,” ujarnya dengan jelas.
Dia menekankan bahwa penyandang disabilitas yang berstatus sebagai tersangka, korban, maupun saksi, harus mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Dia berharap penyandang disabilitas dapat dijadikan sebagai subjek yang aktif dalam RUU KUHAP.
“Bahwa penyandang disabilitas memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum. Inilah yang perlu kita perjuangkan, bagaimana agar KUHAP yang baru benar-benar menjadikan penyandang disabilitas bukan sebagai objek aturan, melainkan sebagai subjek yang berperan aktif dalam aturan tersebut,” pungkasnya dengan penuh semangat.