JAKARTA, Nepotiz – Dampak dari pengambilan keputusan ekonomi yang didasari emosi dapat meluas ke berbagai sektor. Penegasan ini disampaikan oleh Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI, Jusuf Kalla, dalam tanggapannya terhadap kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Menurut pandangan Jusuf Kalla, tindakan yang diambil oleh Trump lebih condong pada emosi politik daripada pemahaman ekonomi yang mendalam. Konsekuensinya, masyarakat AS menjadi pihak yang paling merasakan dampak negatif dari kebijakan tersebut.
"Jika kita mempelajari ilmu ekonomi, kita akan melihat bahwa Trump membuat keputusan tanpa pemahaman yang memadai. Ia merasa marah terhadap China, marah terhadap dunia karena defisit perdagangan Amerika. Kemudian, ia menerapkan tarif, namun melupakan bahwa yang terkena dampak tarif tersebut adalah rakyat Amerika sendiri," jelas Jusuf Kalla dalam sebuah webinar bertajuk "Meet The Leaders", pada hari Sabtu (24/5/2025).
Jusuf Kalla berpendapat bahwa keputusan Trump untuk menaikkan tarif impor adalah manifestasi reaksi emosional terhadap defisit perdagangan, dan bukan solusi yang berbasis rasionalitas. Akibatnya, perekonomian AS justru mengalami kemunduran. Pada kuartal I-2025, ekonomi AS mencatatkan angka minus 0,3 persen, penurunan signifikan dari pertumbuhan sebesar 2,4 persen pada kuartal sebelumnya.
Tidak hanya itu, IMF juga melakukan revisi terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi AS untuk tahun ini menjadi 1,8 persen, menurun dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,7 persen pada bulan Januari. Ekonomi global pun turut mengalami perlambatan, dengan prediksi pertumbuhan hanya sebesar 2,8 persen, lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang mencapai 3,3 persen.
"Inilah risiko ketika seorang pemimpin tidak memahami implikasi dari tindakan yang diambil. Dampaknya dirasakan secara global, miliaran orang terkena dampak akibat kesalahan kepemimpinan ini," imbuh Jusuf Kalla.
Indonesia pun tak luput dari dampak kebijakan tarif Trump. Produk-produk ekspor dari Indonesia dikenakan tarif impor sebesar 32 persen. Kendati demikian, AS memberikan masa jeda selama 90 hari terhitung sejak 9 April 2025 dan membuka peluang untuk melakukan negosiasi.
Pemerintah Indonesia saat ini tengah menjalankan diplomasi perdagangan untuk mengurangi beban tarif tersebut dan berupaya menjaga agar sektor ekspor nasional tetap memiliki daya saing di tengah tekanan ekonomi global.