JAKARTA, Nepotiz – Tahukah Anda bahwa zona aman dan zona nyaman itu berbeda? Keduanya adalah konsep yang seringkali tertukar, padahal keduanya memiliki makna yang berlawanan.
Menurut Tara de Thouars, seorang psikolog klinis, zona nyaman adalah kondisi ideal di mana seseorang merasa betah dan justru termotivasi untuk mengembangkan potensi diri.
Sebaliknya, zona aman merupakan situasi ketika seseorang enggan mencoba tantangan baru lantaran diliputi ketakutan akan kegagalan.
“Jadi, ketika kita memiliki sebuah keinginan, tetapi kemudian mengurungkan niat karena berpikir, ‘Ah, saya takut gagal,’ nah, itu yang disebut zona aman,” jelasnya dalam acara Patchtastic Day 2025 yang berlangsung di Dia.lo.gue, Jakarta Selatan, pada hari Kamis (22/5/2025).
Bagi mereka yang merasa terperangkap dalam zona aman, Tara menyarankan untuk segera beralih menuju zona nyaman yang lebih memberdayakan.
Berikut adalah tiga strategi yang dapat dicoba untuk keluar dari zona aman, menurut Tara.
1. Ciptakan Ketenangan Batin
Seringkali, seseorang terjebak dalam zona aman karena dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan yang berlebihan.
Oleh sebab itu, Tara menekankan pentingnya menenangkan diri dan menjernihkan pikiran sebagai langkah awal.
“Jika masih terasa sulit, tidak masalah untuk mengambil jeda sejenak dan fokus pada menenangkan diri,” sarannya.
Ia merekomendasikan untuk mencoba aktivitas yang bersifat menenangkan, seperti menulis jurnal, merenungkan diri, atau melakukan meditasi.
Aktivitas-aktivitas tersebut justru mampu menjernihkan pikiran dan membantu seseorang terhubung lebih dalam dengan dirinya sendiri.
“Temukan hal-hal yang membuat kita merasa nyaman, karena hal itu akan membantu menjernihkan pikiran dan membuat kita terhubung dengan diri sendiri,” ujar Tara.
Liputanku/LINTANG PRAMATYANTI Tara de Thouars, Deera Dewi, Rima Melati, dan Ira dalam acara Patchtastic Day 2025 di Dia.lo.gue, Jakarta Selatan, Kamis (22/5/2025).
2. Hadapi Ketakutan dengan Kejujuran
Setelah berhasil menenangkan diri, Tara menyarankan untuk menghadapi perasaan takut yang muncul dengan jujur.
Setiap individu memiliki rasa takut yang unik. Ada yang takut akan kegagalan, ada yang takut dihakimi oleh orang lain, atau bahkan takut kehilangan sesuatu yang sudah dimiliki.
“Kenali terlebih dahulu, sebenarnya apa yang menjadi sumber ketakutan kita? Apakah itu takut gagal, takut dinilai negatif oleh orang lain, atau takut kehilangan sesuatu yang berharga?” tanyanya.
3. Utamakan Kata Hati
Tara juga memberikan saran untuk selalu mendengarkan kata hati. Cobalah untuk memahami apa yang benar-benar diinginkan dari lubuk hati yang paling dalam, tanpa terpengaruh oleh opini orang lain.
“Jadi, kita perlu mendengarkan apa yang sebenarnya kita inginkan,” tegasnya.
Sebagai contoh, jika seseorang tertarik untuk mempelajari keterampilan baru yang berbeda jauh dengan pekerjaan yang sedang digelutinya, hal itu sah-sah saja asalkan bukan karena dorongan dari orang lain.
Meskipun mungkin ada larangan dari orang-orang di sekitarnya karena dianggap tidak “sesuai jalur,” Tara mengingatkan bahwa diri kitalah yang paling memahami apa yang sebenarnya kita butuhkan.
“Sesederhana misalnya, ‘Saya ingin mencoba belajar keterampilan baru,’ lalu muncul kecemasan kalau dilarang, nah, kecemasan itu tidak perlu didengarkan,” jelasnya.