JAKARTA, Nepotiz – Dukungan kebijakan fiskal dari pemerintah menjadi harapan Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) saat ini.
Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal ATI, Kris Ade Sudiyono, dalam sebuah forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, pada hari Senin, 26 Mei 2025.
Isu pertama yang diangkat adalah mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kris Ade menjelaskan bahwa Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) memiliki kewajiban membayar PPN atas setiap pekerjaan konstruksi yang dilakukan.
"Ironisnya, investasi yang kami lakukan dikenakan PPN, namun pendapatan dari masyarakat melalui tarif tol tidak dikenakan PPN," jelasnya.
Sebagai gambaran, ia memberikan contoh bahwa jika total anggaran yang digunakan untuk membangun sebuah ruas tol mencapai Rp 110 miliar, maka sekitar Rp 10 miliar dari dana tersebut dialokasikan khusus untuk pembayaran PPN.
Selain itu, terdapat isu lain yaitu pemerintah daerah yang berencana menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bahkan, di beberapa wilayah, kenaikan tersebut dapat mencapai angka yang signifikan, yaitu 200-300 persen dalam kurun waktu yang relatif singkat, yakni setiap dua tahun sekali.
Menurut pengalaman BUJT, permasalahan muncul ketika terdapat konstruksi jalan tol yang memiliki fungsi ganda, seperti yang terjadi pada Jalan Tol Semarang-Demak.
"Bangunan beton yang berfungsi sebagai penahan rob pun, tetap harus kami bayarkan PBB-nya," ungkapnya.
Lebih lanjut, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2017 mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi memberikan fasilitas keringanan pajak bagi pelaku pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.
"Investasi di sektor jalan tol, yang umumnya melebihi Rp 5 triliun per ruas, seharusnya memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif tax holiday maupun allowance sesuai dengan ketentuan PP 78 Tahun 2017. Sayangnya, sektor jalan tol tidak termasuk dalam daftar penerima insentif tersebut," pungkasnya.