JAKARTA, Nepotiz – Di balik kemegahan gedung-gedung perkantoran di jantung Jakarta, terselip sebuah perkampungan yang menjadi saksi bisu perjuangan hidup masyarakat urban.
Kampung Starling, demikian sebutan bagi komunitas pedagang kopi keliling ini, berlokasi di gang sempit Jalan Parapatan Baru, Kwitang, Kecamatan Senen.
Di tempat ini, ratusan penduduk menggantungkan asa pada aroma kopi instan dan beragam penganan yang mereka jajakan di seluruh penjuru kota.
Dihuni oleh lebih dari 500 jiwa, yang sebagian besar merupakan perantau dari Madura, kampung ini tumbuh dari keterbatasan dan mampu bertahan berkat rasa kebersamaan yang kuat.
Meskipun hidup berdampingan dalam keterbatasan ruang, warga Kampung Starling terus berjuang demi harapan dari setiap cangkir kopi yang mereka bawa berkeliling kota setiap harinya.
Bertahan di Tengah Segala Keterbatasan
Sebuah gapura berwarna merah dengan tulisan “Selamat Datang, Komunitas Pedagang Kopi Keliling” menandai pintu masuk menuju Kampung Starling.
Di balik gapura tersebut, jajaran rumah semi permanen berdiri rapat, bersebelahan dengan sepeda dan gerobak dagangan mereka.
Perkampungan yang membentang sepanjang 350 meter ini terletak di antara aliran Kali Ciliwung yang menghitam dan tembok kokoh kompleks Bank Indonesia.
Fasilitas kehidupan di sini sangatlah terbatas. Hanya tersedia dua kamar mandi umum yang harus digunakan bersama oleh ratusan penghuni.
“Kami sudah terbiasa dengan kondisi ini. Ini adalah rumah kami, walau sederhana,” ujar Novi (bukan nama sebenarnya), salah seorang warga yang telah tinggal di sini sejak tahun 2010.
Setiap sore hingga menjelang dini hari, para pedagang kopi keliling mulai meninggalkan Kampung Starling untuk menuju kawasan Tanah Abang, Sudirman, hingga Stasiun Gondangdia.
Nepotiz/Lidia Pratama Febrian Kampung Starling: Pemukiman Padat di Jakpus yang Didominasi Warga Madura
Salah seorang di antaranya adalah Wisnu, seorang pria asal Madura yang telah merantau dan menetap di Kampung Starling sejak tahun 2017. Ia mengakui bahwa penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Pendapatan saya paling sedikit Rp 100.000, terkadang bisa mencapai Rp 300.000. Biasanya saya mulai berjualan dari jam 3 sore hingga malam hari, tetapi waktunya tidak menentu,” ungkap Wisnu kepada Nepotiz, pada hari Jumat (23/5/2025).
“Kalau hujan, ya sepi pembeli. Tapi kalau ramai, hasilnya lumayan,” timpal Reza (bukan nama sebenarnya), seorang pedagang lain yang telah berjualan sejak tahun 2015.
Mereka berjualan dengan menggunakan sepeda, menyusuri trotoar dan ruang publik yang masih tersedia di Jakarta.
Sistem pembagian wilayah diberlakukan agar tidak terjadi persaingan yang berlebihan antar pedagang.
Meskipun disebut Kampung Starling, mata pencaharian warga tidak hanya terbatas pada penjualan kopi. Sebagian dari mereka juga berjualan makanan.
“Macam-macam, tidak hanya jualan kopi saja, tetapi ada juga yang menjual soto, bakso, ketoprak, dan masih banyak lagi,” jelas Novi sambil menunjuk beberapa gerobak makanan yang terparkir di depan rumah semi permanen.
Membayar Pajak
Meskipun tinggal di atas lahan yang dimiliki oleh Bank Indonesia, warga Kampung Starling menyatakan bahwa keberadaan mereka sah karena mereka secara rutin membayar pajak bangunan.
“Kami membayar setiap bulan, meskipun tidak tahu jumlah pastinya. Tetapi karena itu, kami merasa legal,” kata Hasan (bukan nama sebenarnya), seorang warga yang telah menetap sejak tahun 2018.
Meskipun tidak ada kejelasan dari pemerintah, selama mereka tidak digusur, warga merasa aman.
“Yang penting kami bisa hidup dan berjualan. Anak-anak bisa sekolah, keluarga bisa makan. Itu sudah cukup,” pungkas Wisnu.