Kejaksaan Agung (Kejagung) baru-baru ini mengungkap adanya kerugian negara yang signifikan dalam kasus dugaan korupsi terkait pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk, yang lebih dikenal sebagai Sritex. Nilai kerugian negara yang terungkap mencapai angka yang cukup besar, yaitu Rp 692 miliar.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, kerugian negara ini dihitung berdasarkan pemberian kredit dari dua bank yang merupakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Kedua bank tersebut adalah Bank DKI dan Bank BJB.
“Kerugian keuangan negara yang teridentifikasi saat ini mencapai Rp 692 miliar. Kerugian ini berkaitan erat dengan pinjaman yang diberikan PT Sritex oleh dua bank, yaitu Bank DKI Jakarta dan Bank BJB,” jelas Abdul Qohar kepada awak media dalam konferensi pers yang diadakan di Kejagung, Jakarta Selatan, pada hari Rabu (21/5/2025).
Qohar merinci lebih lanjut bahwa total pinjaman dana yang dikucurkan oleh Bank DKI kepada Sritex mencapai Rp 149 miliar. Sementara itu, Bank BJB memberikan kredit dengan nilai yang lebih besar, yaitu Rp 543 miliar.
Angka-angka ini didasarkan pada jumlah tagihan atau outstanding yang belum berhasil dilunasi oleh Sritex, yang mencapai Rp 3,58 triliun. Proses pelunasan tagihan ini mengalami kemacetan sejak bulan Oktober 2024.
“Perlu saya tekankan, bahwa angka Rp 3,58 triliun tersebut adalah jumlah tagihan yang hingga saat ini belum dapat dilunasi,” tegasnya.
Kasus ini bermula ketika Sritex menerima pinjaman dana dari sejumlah bank, mulai dari bank-bank yang tergabung dalam Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) hingga bank pemerintah daerah. Namun, pelunasan kredit tersebut mengalami kendala, hingga akhirnya jumlah yang belum dilunasi pada Oktober 2024 mencapai angka Rp 3 triliun.
Penyidikan yang dilakukan oleh Kejagung kemudian mengungkap adanya kejanggalan dalam proses pemberian kredit oleh Bank BJB dan Bank DKI Jakarta kepada Sritex. Kejagung menduga kuat bahwa terdapat prosedur yang melanggar hukum dalam pencairan kredit tersebut.
“Dalam proses pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman TBK, ZM selaku Direktur Utama Bank DKI dan DS selaku Pimpinan Divisi Korporasi dan Komisaris Komersial PT Bank Pembangunan Jawa Barat dan Banten, diduga telah memberikan kredit secara melawan hukum. Mereka diduga tidak melakukan analisa yang memadai serta tidak mematuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan,” ungkap Qohar.
Ia menambahkan bahwa dana kredit yang diterima Sritex dari Bank BJB dan Bank DKI Jakarta kemudian digunakan oleh Iwan Setiawan, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama Sritex, dengan cara yang tidak semestinya.
“Terdapat fakta hukum yang menunjukkan bahwa dana tersebut tidak digunakan sesuai dengan tujuan awal pemberian kredit, yaitu sebagai modal kerja. Dana tersebut justru disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, sehingga tidak sesuai dengan peruntukan yang seharusnya,” papar Qohar.
Tindakan yang dilakukan oleh Iwan tersebut menyebabkan Sritex gagal membayar kredit, dengan total tagihan yang belum dibayar mencapai Rp 3.588.650.808.28. Tindakan pemberian kredit yang tidak sesuai prosedur dari Bank BJB dan Bank DKI Jakarta kepada Sritex inilah yang kemudian menyebabkan kerugian negara hingga ratusan miliar rupiah.
Hingga saat ini, terdapat tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Selain Iwan Setiawan, Kejagung juga menetapkan Zainuddin Mappa, yang menjabat sebagai Direktur Utama Bank DKI pada tahun 2020, dan Dicky Syahbandinata, yang menjabat sebagai Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB, sebagai tersangka.