JAKARTA, Nepotiz – Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) langsung mengambil tindakan tegas dengan menahan tiga tersangka terkait kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Penahanan ini dilakukan pada Rabu (21/5/2025) malam.
Adapun ketiga individu yang ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan adalah Iwan Setiawan Lukminto, yang menjabat sebagai Komisaris Utama PT Sritex, Zainuddin Mapa, mantan Direktur Utama Bank PT DKI Jakarta, serta Dicky Syahbandinata, yang sebelumnya menjabat sebagai pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial PT Bank Pembangunan Daerah Bantan dan Jawa Barat (BJB).
“Para tersangka akan menjalani masa penahanan selama 20 hari ke depan di Rutan Salemba Kejaksaan Agung,” ungkap Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers yang diadakan di kantor Jampidsus Kejagung, Jakarta, pada Rabu (21/5/2025).
Dalam kasus ini, Kejagung memiliki dugaan kuat bahwa negara mengalami kerugian finansial sebesar Rp 692 miliar. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan Sritex dalam melunasi kredit yang diberikan oleh Bank DKI dan Bank BJB.
Lebih lanjut, proses pemberian kredit tersebut juga menimbulkan pertanyaan karena indikasi kuat bahwa prosedur yang seharusnya diikuti tidak dipatuhi, sehingga melanggar ketentuan hukum yang berlaku.
“(Dicky dan Zainudin) diduga telah menyetujui pemberian kredit secara melawan hukum, tanpa melakukan analisis mendalam yang memadai serta mengabaikan prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan,” jelas Qohar.
Salah satu indikasi yang ditemukan adalah PT Sritex tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk mendapatkan fasilitas kredit modal kerja. Hasil penilaian menunjukkan bahwa Sritex mendapatkan predikat BB-, yang mengindikasikan risiko gagal bayar yang lebih tinggi.
"Padahal, seharusnya pemberian kredit tanpa jaminan hanya diperbolehkan kepada perusahaan atau debitur dengan peringkat A," imbuh Qohar.
Sementara itu, Iwan selaku Dirut Sritex diduga tidak menggunakan dana kredit dari BJB dan Bank DKI sesuai dengan tujuan awal pemberian kredit, yaitu sebagai modal kerja.
"Dana tersebut diduga disalahgunakan untuk membayar utang dan membeli aset nonproduktif, sehingga tidak sesuai dengan peruntukan yang sebenarnya," terang Qohar.
Meskipun demikian, total nilai kredit macet yang tercatat dimiliki oleh Sritex mencapai angka Rp 3,58 triliun, yang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah kerugian keuangan negara yang telah diidentifikasi oleh Kejagung.
Qohar menambahkan bahwa Sritex juga menerima pinjaman dari Bank Jateng sebesar Rp 395 miliar serta dari Himpunan Bank Negara (Himbara) dengan total nilai mencapai Rp 2,5 triliun.
Saat ini, tim penyidik masih terus melakukan pendalaman terkait alasan pemberian kredit dari kedua bank tersebut, sehingga belum dapat dimasukkan ke dalam perhitungan kerugian keuangan negara.