“`html
Adian Napitupulu, seorang anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP, baru-baru ini menyoroti keberadaan biaya layanan serta biaya aplikasi yang dikenakan kepada pengguna dan pengemudi transportasi daring. Dalam pernyataannya, Adian mengusulkan penghapusan kedua jenis biaya tersebut dari sistem transportasi daring.
Usulan ini disampaikan saat rapat Komisi V DPR bersama sejumlah pengemudi transportasi daring di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu (21/5/2025). Adian menjelaskan bahwa selain adanya potongan biaya yang melebihi 10 persen, terdapat pula potongan biaya tambahan lainnya yang perlu diperhatikan.
"Contohnya, jika pengemudi menerima order sebesar Rp 30 ribu, kemudian dikenakan potongan sebesar 30 persen, 40 persen, atau bahkan 50 persen oleh aplikator, apakah ada potongan lain selain itu? Ada. Potongan ini dikenakan kepada konsumen, dan dikenal sebagai biaya layanan serta biaya aplikasi," ungkap Adian.
Menurut Adian, besaran biaya layanan dan biaya aplikasi ini dapat mencapai lebih dari Rp 10 ribu. Lebih lanjut, Adian menegaskan bahwa tidak ada landasan hukum yang jelas mengenai pengenaan biaya layanan dan biaya aplikasi tersebut.
"Biaya ini diambil dari konsumen, dari pemesan. Jadi, jika aplikator memperoleh Rp 10 ribu per order dari pengemudi, dan Rp 10 ribu lagi dari konsumen, jika kita kalikan dengan jumlah pengemudi dan jumlah merchant mereka yang mencapai 4,2 juta, maka mereka berpotensi mendapatkan setidaknya Rp 92 miliar per hari," jelasnya lebih lanjut.
Adian mengaku bahwa dirinya tidak memahami dasar pemotongan biaya-biaya tersebut. Menurutnya, permasalahan transportasi daring tidak hanya terbatas pada potongan biaya yang melebihi 10 persen, tetapi juga mencakup persoalan biaya layanan dan biaya aplikasi.
"Ini bukan semata-mata tentang potongan 10 persen, tetapi juga mengenai biaya aplikasi. Secara logika, ketika pengemudi sudah membayar untuk aplikasi tersebut, berarti aplikasi ini dibayar oleh dua pihak, yaitu konsumen dan pengemudi," terangnya.
"Bagaimana sebenarnya arah perkembangan transportasi daring ini dalam 2, 3, 4, 5 tahun ke depan, sehingga ketika kita menyusun regulasi, kita dapat memiliki prediksi yang akurat?'Oh, kira-kira akan seperti ini'," sambungnya, menunjukkan harapannya akan regulasi yang lebih baik.
Adian kemudian memberikan contoh negara India, yang telah menghilangkan sistem komisi. Namun, saat ini India menerapkan sistem berlangganan aplikasi bagi pengemudi.
"Sistem langganan ini bersifat tetap, dan inilah yang akan menjadi logika hubungan antara pengemudi daring dan aplikasi di masa depan," ujarnya.
"Semua ini ada, biaya layanan dan biaya aplikasi. Biaya ini langsung masuk ke aplikator sebesar Rp 12 ribu, Rp 10 ribu, dan yang lebih memprihatinkan adalah biaya ini tidak memiliki dasar hukum sama sekali," lanjutnya dengan nada prihatin.
Oleh karena itu, Adian mengusulkan agar biaya layanan dan biaya aplikasi segera dihapuskan. Ia berpendapat bahwa praktik yang diterapkan di negara lain tidak dapat serta merta dijadikan dasar hukum di Indonesia.
"Ini sudah berlangsung bertahun-tahun, dan ini aneh. Menurut saya, kita seolah hidup bernegara tanpa negara. Jadi, poin selanjutnya adalah saya meminta agar biaya ini dicabut, tidak boleh ada biaya layanan dan biaya jasa aplikasi," pungkasnya.
“`