JAKARTA, Nepotiz – Sebuah kabar kurang sedap datang dari Kejaksaan Agung (Kejagung), teman-teman. Mereka menemukan bahwa Bank Pembangunan Daerah Banten dan Jawa Barat (BJB), serta Bank DKI Jakarta, ternyata memberikan fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) padahal, menurut penelusuran, Sritex sebenarnya tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Bapak Abdul Qohar, menjelaskan bahwa BJB dan Bank DKI tetap saja menyetujui pemberian kredit kepada Sritex. Bayangkan, Sritex bahkan sudah dinilai memiliki risiko gagal bayar yang cukup tinggi!
“Informasinya, PT Sri Rejeki Isman Tbk hanya memperoleh predikat BB- atau, sederhananya, memiliki risiko gagal bayar yang lebih tinggi,” ungkap Bapak Qohar dalam konferensi pers yang diadakan di kantor Jampidsus Kejagung, Jakarta, pada hari Rabu (21/5/2025).
“Padahal, idealnya, pemberian kredit tanpa jaminan itu hanya boleh diberikan kepada perusahaan atau debitur yang memiliki peringkat A,” lanjut beliau, seakan menekankan betapa janggalnya situasi ini.
Bapak Qohar merinci, BJB menyalurkan kredit sebesar Rp 543.980.507.170, sementara Bank DKI Jakarta memberikan kredit senilai Rp 149.007.085.018,57. Jumlah yang tidak sedikit, ya?
Pemberian kredit dari kedua bank milik pemerintah daerah ini kemudian ditetapkan sebagai kerugian keuangan negara dengan total nilai yang fantastis, mencapai Rp 692.980.592.188.
Usut punya usut, kredit dari BJB dan Bank DKI tersebut macet, dan aset Sritex ternyata tidak mencukupi untuk menutupi kerugian negara. Nilainya lebih kecil dari total pinjaman yang diberikan.
Selain itu, aset-aset yang dimiliki Sritex juga tidak dijadikan jaminan dalam proses pemberian kredit tersebut. Wah, semakin rumit saja, ya?
Kredit tersebut tak kunjung dilunasi, sampai akhirnya Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang. Hal ini semakin memperkuat dugaan bahwa pemberian kredit ini telah menyebabkan kerugian negara.
“Akibat adanya pemberian kredit secara melawan hukum yang dilakukan oleh Bank Jabar Banten dan Bank DKI Jakarta terhadap Sritex, negara mengalami kerugian sebesar Rp 692.980.592.188,” tegas Bapak Qohar.
Meskipun demikian, total kredit macet yang membelit Sritex nilainya mencapai Rp 3,58 triliun. Jauh lebih besar dari angka kerugian keuangan negara yang sudah diidentifikasi oleh Kejagung. Angka yang bikin geleng-geleng kepala.
Bapak Qohar menambahkan, Sritex juga memperoleh pinjaman dari Bank Jateng sebesar Rp 395 miliar dan Himpunan Bank Negara (Himbara) dengan total mencapai Rp 2,5 triliun.
Saat ini, tim penyidik masih terus mendalami alasan pemberian kredit dari kedua bank ini sehingga belum bisa dimasukkan sebagai kerugian keuangan negara. Semoga saja semuanya cepat terungkap, ya.
Dalam perkara yang cukup menghebohkan ini, Kejagung telah menetapkan Komisaris Utama sekaligus mantan Direktur Utama Sritex, Bapak Iwan Setiawan Lukminto, mantan Direktur Utama Bank DKI, Bapak Zainuddin Mapa, dan mantan pimpinan Divisi Korporasi dan Komersial Bank BJB, Bapak Dicky Syahbandinata, sebagai tersangka. Kasus yang melibatkan banyak pihak.
Mereka disangka melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal yang cukup berat konsekuensinya.
Ketiga tersangka juga langsung ditahan di rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan. Semoga proses hukum berjalan dengan adil dan transparan.